Celotehan Sok Bijak

KETAKUTAN

Senin, November 30, 2020


BABAK I

Sekitar 15 tahun yang lalu, perdebatan hati terberat yang pernah Saya alami hanya berputar pada perkara ringan layaknya anak-anak kecil pada umumnya. Ingin bermain hujan tetapi takut dimarahi,  ingin bermain bola hingga adzan maghrib berkumandang tapi takut dibawakan sapu, atau takut ketika melihat jarum suntik saat mantri datang dengan muka sedikit ngantuk saat Saya sedang sunat. Dan yang paling parah dan masih teringat dengan jelas dikepala adalah ketika pertama kali nobar film dewasa (red: bokep) dirumah dengan beberapa berandal kampung ketika kedua orang tua Saya pergi ke ladang. Takut tiba-tiba ada yang datang dan memergoki bahwa ada sekumpulan anak-anak berandal yang sedang nonton film dewasa, dan kedua adalah ketakutan melihat adegan panas karena itu adalah pengalaman pertama. Kedua ketakutan ini berjalan beriringan, hingga membuat suhu tubuh naik dan turun secara drastis.

Sedikit menginjak remaja, ketakutan-ketakutan lain mulai muncul. Pertama kalinya berpacaran dengan teman sekolah, takut jika semua orang tahu bahwa kami berpacaran, hingga harus menjaga jarak disekolah dengan cara berpura-pura tidak mengenali satu sama lain. Takut diberikan surat peringatan dari sekolah karena terlalu sering tertangkap basah bermain kartu remi dikelas, hingga takut dicurigai sebagai pencuri karena memiliki kulit dan bentuk fisik berbeda sendiri dikelas pada saat salah seorang teman Saya kehilangan handphonenya.

BABAK II

Perihal cinta, memang menjadi ketakutan tersendiri bagi beberapa makhluk yang bisa bernafas, tidak terbatas pada manusia, bahkan mungkin hewan pun memiliki ketakutan tersendiri perihal cinta. Tidak tahu kalau tumbuhan, mereka berfotosintesis dan Saya tidak pernah berbicara dengan tumbuhan.

Mulai beranjak remaja, ketakutan menjadi sedikit lebih berwarna. Tidak lagi berkutat pada perkara ringan.

Takut akan cinta dan kehilangan mulai terbentuk, dulu yang setiap hari uang jajan selalu dihabiskan untuk mengisi billing diwarung internet samping sekolah, lambat laun mulai terganti dengan membeli gorengan atau bahkan martabak manis untuk dibawa ke rumah gebetan. Uang jajan sedikit demi sedikit mulai dialokasikan untuk membeli pulsa provider 3 yang dulu namanya sangat bersinar terang dikalangan anak SMA karena memberikan promo beli pulsa 5 ribu gratis 5 ribu. Menghabiskan pulsa dengan cara mengirimi SMS dengan catatan kaki *send all* padahal hanya memilih satu nama kontak "gebetan" untuk mengirimi kode-kode perasaan yang dulu belum dianggap norak dan lebay.

Lambat laun perasaan mencintai berubah menjadi perasaan takut kehilangan. Yang dulunya selalu romantis, kini setiap hari harus berdebat hanya perkara tidak boleh ini dan tidak boleh itu. Ketakutan yang tidak mendasar kini menduduki posisi paling atas pada chart hati dan perasaan.

BABAK III

Sedikit menginjak dewasa, ketakutan di isi oleh perihal lain yang lebih rumit dari sebelumnya. Bukan lagi perkara hati, tapi perkara masa depan. Pertanyaan "bagaimana" selalu muncul setiap malam saat berkontemplasi sebelum tidur. Bagaimana jika nilai hancur? Bagaimana jika Saya tidak lulus tepat waktu? Dan bagaimana-bagaimana lainnya yang terus menerus mengisi ketakutan.

Ketakutan mengenai hati dan perasaan rupanya tidak hilang begitu saja. Menyukai seseorang yang sudah sangat dekat sedari dulu rupanya menimbulkan ketakutan tersendiri.

Takut mengungkapkan, takut menerima penolakan, takut akan menjauh, sekarang kembali lagi menduduki posisi paling atas pada chart hati dan perasaan. Tidak percaya diri tiba-tiba akrab dengan cerita sehari-hari.

BABAK IV

Beranjak dewasa, lagi-lagi ketakutan di isi dengan hal baru. Lebih rumit dari sebelumnya, dan mungkin tingkat ke-kompleksitasannya juga sedikit lebih tinggi.

Takut mengecewakan orang-orang terdekat, takut tidak sukses dalam hidup, takut hidup tidak berjalan sesuai dengan rencana, takut tidak bisa ini, takut tidak bisa itu, dan ketakutan-ketakutan lain yang setiap hari terus menerus menghantui bukan lagi hanya pada saat berkontemplasi, tapi terus menyerang setiap ada waktu dan kesempatan.

Ketakutan tentang cinta juga belum hilang. Takut tidak menemukan orang yang tepat, takut untuk memulai lagi dari awal, takut menjadi beringas pada perasaan, dan masih takut untuk berterus terang.

KONKLUSI

Tanpa sadar, rasa takut akan selalu ada dan menghantui kemanapun dan sampai kapanpun. Rasa takut terus menghalangi Saya atau bahkan orang lain untuk melihat sisi terbaik dari sebuah kehidupan.

Pada dasarnya, ketakutan hanyalah sebuah pilihan pada flowchart kehidupan. Ketakutan hanya akan mengarah pada flowchart negatif, yang bergumul dan bekerja keras untuk menutupi pandangan kearah lain yang lebih baik.

Sebuah pilihan yang memang tidak bisa dihindari oleh semua orang. Tapi nyatanya, pilihan itu lebih dari satu, dan tidak mungkin semua pilihan mengarah pada jawaban salah. Babak demi babak kehidupan akan mengungkap bahwa ketakutan-ketakutan yang pada awalnya memiliki dasar yang kuat lambat laun akan melemah dan menjadi tidak berdasar sesuai berjalannya waktu.

Saya dan kamu memiliki ketakutan tersendiri mengenai perjalanan hidup.

Tetapi Saya dan kamu juga bisa memilih untuk melawan rasa takut akan sesuatu. Beranikah? Atau akan terus dikalahkan oleh rasa takut? Saya mencoba berani, dan kamu juga bisa.

.........

*Asal jangan disuruh untuk berani naik pesawat, Saya masih takut*

Gipsy Marpaung
30 November, 2020.
Read More »

Celotehan Sok Bijak

BE QUIET, PLEASE!

Selasa, November 10, 2020

background img src: https://knops.co/magazine/addiction-to-silence/
Wah ternyata sudah lama ya Saya tidak kembali menulis disini, padahal niatan Saya diawal tahun kemarin akan lebih sering mengisi sesuatu untuk blog ini. Haha, ternyata niatan Saya belum sepenuhnya bisa dipercaya. Dan asal kalian tahu saja, sejatinya beberapa bulan kebelakang Saya selalu berada didalam rumah, bahkan Saya bisa 24 jam berada didalam rumah selama satu minggu. Makan selalu pesan dari aplikasi daring. Sudah seperti itu, tapi niat menulis Saya selalu terdistraksi oleh beberapa hal sepele; malas, malas, dan malas. Eh, itu bukan beberapa hal ya... tapi satu hal. Hehe.

Bukan, bukan.. Saya malas menulis sebenarnya karena perkara laptop yang Saya punya sudah tidak bisa berfungsi dengan baik. Bukan hanya alasan yaa... laptop ini Saya beli bekas, dulu sekali ketika Saya masih kuliah di Jogjakarta. Dengan budget pas-pasan, alhasil cuma bisa dapat spesifikasi laptop yang pas-pasan juga. Bahkan, laptop yang Saya miliki masih kalah dan tertinggal jauh dari Smartphone Xiaomi yang paling baru.

Jangan dibayangkan.

Yah kenapa Saya jadi curhat ya haha. Doain aja ada rezeki untuk beli laptop baru yang lebih bagus! Sekarang, kembali lagi ke bahasan yang ingin Saya tulis kali ini... 

Here we go...

Minggu ini Saya menemukan sesuatu yang sangat menarik, bahkan membuka wawasan dan sudut pandang baru yang tidak pernah Saya bayangkan selama ini. Perkara yang menurut Saya tidak rumit tapi dapat menyakiti banyak pihak. Dan yang lebih menarik lagi, pengalaman ini adalah pengalaman yang dimiliki oleh orang disekitar Saya.

Mungkin akan lebih bijak jika kali ini hanya analogi yang akan Saya berikan.

Sekarang kamu boleh membayangkan...

-------------------------------------------------------------------------------------------

"Ada seseorang yang baru saja membeli sebuah smartphone dengan model paling baru dan harga yang lumayan mahal. Setelah keluar dari toko, dia kembali kerumah dengan perasaan yang amat bahagia karena sudah berhasil mendapatkan smartphone impiannya. Lalu dia bergegas menghubungi salah satu temannya untuk memberitahukan bahwa dia sudah memiliki smartphone yang dia inginkan. Dia bercerita panjang lebar mengenai perjuangannya mendapatkan barang impian tersebut.

Temannya ikut senang...

Waktu berlalu sedikit cepat... ternyata banyak smartphone yang lebih canggih muncul ke permukaan. Dengan marketing 'harga' yang murah meriah, tentu saja smartphone ini menjadi dambaan bagi banyak orang. Seseorang ini juga ikut merasa demikian. Sejenak dia berpikir "Iya juga ya, kalau aku ambil yang ini biaya yang harus aku keluarkan tidaklah besar, bahkan aku bisa mendapatkan barang yang sangat bagus dengan harga yang murah".

Karena mendapatkannya pun mudah, akhirnya dia berpaling. Smartphone dia yang lama dibuang begitu saja, lalu dengan senang hati berpindah ke smartphone baru yang lebih murah dan tinggi spesifikasinya.

Sekali lagi, dia bergegas menghubungi temannya dan bercerita panjang lebar mengenai smartphone yang baru saja dia miliki, membangga-banggakannya bak seorang Dewa yang harus disembah.

Karena rasa penasaran, temannya pun menanyakan perkara smartphone lamanya. "Jadi, smartphonemu yang dulu, kau kemanakan?"

Dia menjawab "Sudah aku buang, karena ketika aku ingin ber-swafoto dengan teman-temanku, smartphone itu sangat lambat"

"Hanya perkara itu, kau membuangnya dan menggantinya dengan yang baru?" Tanya temannya penasaran.

"Iya! Itu adalah kesalahan terbesar sebuah smartphone. Enak saja! yang aku butuhkan hanya swafoto, dan smartphone itu tidak bisa memberikan yang terbaik untuk keinginanku" Jawabnya lagi.

"Loh, tapi bukannya dulu kau bercerita bahwa swafoto menggunakan smartphone itu sangatlah bagus? Bahkan dengan sadar kau berkata bahwa smartphone itu adalah yang terbaik" Tanya temannya sekali lagi.

"Hah? Tidak mungkin! Kapan aku mengatakan bahwa smartphone itu sangat bagus? Dan kapan pula aku mengatakan bahwa smartphone itu yang terbaik?" Pungkas dia tidak terima. "Mungkin, bagus dan terbaik menurutmu beda dengan bagus dan terbaik menurutku" Tambahnya lagi.

Seketika temannya terdiam, lalu merenung. "Apakah memang dia seperti ini sejak dahulu?"

Satu hal yang tidak disadari oleh si pembeli smartphone ini adalah; Barang murah dan mudah didapatkan juga akan memiliki kualitas yang murah dan mudah dirusakkan.

-------------------------------------------------------------------------------------------

Saya membebaskan kamu untuk mengartikannya kemana dan ke siapa saja analogi yang baru saja Saya tulis.

Analogi yang lumayan sederhana mengenai ketidak konsistenan seseorang dalam berkata. Perkara simple yang dibuat rumit oleh diri sendiri. Jika dirunut dari awal, maka jawaban akhir didalam analogi tersebut seharusnya tidak pernah muncul. Tapi ternyata pembelaan pada kalimat akhir malah membuat semua perkataan menjadi rancu.

Aneh bukan? Bahkan Saya sendiri masih belum dapat memahami mengapa hal tersebut bisa terjadi. Apakah ketidak konsistenan itu muncul hanya karena ingin menjaga nama baik dan harga diri? Atau jangan-jangan orang yang tidak konsisten ini sedang berkomedi untuk membuat orang lain tertawa dengan ketidak konsistenannya? Jika iya, maka mereka sangat lucu.

Apapun yang telah kamu alami, baik atau buruk, berhasil atau gagal, benar atau salah, selama itu adalah pilihanmu sendiri, maka berbanggalah dengan pilihan yang sudah kamu pilih. Jika hasil dari pilihanmu adalah buruk, gagal, atau salah, maka tidak serta merta kamu melupakan dan mengelak bahwa kamu tidak pernah memilih itu. as simple as that.

Konsisten bukan cuma perkara kamu memilih A, lalu dikemudian hari kamu tidak boleh memilih B dan harus tetap berada pada pilihan A. Big NO! Dikemudian hari kamu tetap boleh memilih pilihan B, dan ketika kamu memilih pilihan B, maka pilihan A yang sudah pernah kamu pilih sebelumnya tidak boleh dilupakan dan dielakkan. Akui saja bahwa kamu pernah memilih A dan tidak berjalan sesuai keinginan. 

Berani mengakuinya bukanlah hal yang sulit bukan?

Gipsy Marpaung
Pontianak, 00:50 Dini hari.
Read More »