Retorika "Kids Jaman Now" Dan Penyebabnya

Jumat, November 03, 2017

Retorika "Kids Jaman Now" Dan Penyebabnya
Img src: www.brilio.net
Belakangan ini, jargon Kids Jaman Now hype banget. Entah siapa yang pertama bikin kalimat absurd itu, dan entah kenapa juga banyak orang-orang yang ikut meramaikan.

Yang akan gue bahas kali ini adalah, tentang seberapa buruknya perilaku anak-anak sekarang yang moralnya udah rusak.

Sebenernya, banyak penyebab anak-anak zaman sekarang udah terlalu kelewat batas. Dimulai dari lingkungan, pergaulan, dan MEDIA. Kenapa media gue capslock? Ya, karena media berpengaruh penting dengan kelakuan anak-anak zaman sekarang. Seluruh media sekarang berlomba-lomba menampilkan sesuatu yang sebenarnya sangat tidak mendidik. Penyebabnya karena mengejar rating, biar banyak perusahaan besar yang mau beriklan disana.

Uang? Iya, jelas!

Media saat ini sudah rusak. Tidak semua, tapi rata-rata. Dan presentase kerusakannya sangat tinggi, dengan value untuk penikmat yang sangat bobrok. Disini, gue semata-mata tidak 100% menyalahkan media, tetapi penikmat juga berperan penting dalam memilah mana yang benar dan mana yang salah.

Curhatan gue ini terinisiasi karena ketika liburan semester kemarin, gue dikagetkan dengan tingkah laku dan kesopanan keponakan gue terhadap orang sekitar. Singkat cerita, liburan semester kemarin gue pulang ke rumah Orang Tua, kebetulan 2 orang kakak gue juga ikut pulang. Itung-itung ngumpul keluarga yang udah dari 5 tahun lalu gak pernah dilakuin, karena kedua kakak gue udah diboyong suaminya.

FYI, anak kakak gue yang pertama udah hampir menginjak 6 tahun. Dan yang kedua, belum genap 1 tahun. Yang akan gue bahas disini adalah, anak dari kakak gue yang pertama.

Sekali lagi, bukan bermaksud menghakimi. Tetapi, ini adalah apa yang gue rasakan ketika satu bulan full dengan si anak ini.

Oke, mungkin yang pertama harus dibahas adalah, kebiasaan dari keponakan gue dulu.

Keponakan gue ini hobinya nonton film India (Salah satu perusak), dan sinetron-sinetron lain. Sedangkan keponakan gue ini masih tergolong anak-anak yang masih sangat kecil, dan belum seharusnya menonton film tersebut.

Kedua, lingkungan tempat dia tinggal. Menurut cerita dari kakak gue, anaknya ini selalu main sama orang-orang yang lebih tua dari dia. Ibaratkan, dia masih TK tapi mainnya sama anak-anak badung kelas 6 SD.

Ketiga, terlalu dimanja. Keponakan gue terlalu dimanjakan hidupnya, entahlah mungkin karena faktor anak pertama. Atau, mungkin, i don't know...

Dari beberapa kebiasaan ini, yang menurut gue paling mempengaruhi sifat si anak adalah kebiasaan nomer 1. Hal ini penting, mengingat banyak tontonan yang sangat merusak akhir-akhir ini.

Gini, diseluruh sinetron yang pernah tayang di Indonesia ataupun Negara lain, ups.. bukan 'hanya' sinetron, tetapi dari seluruh buku, hingga cerita yang difilmkan dilayar lebar, semua memiliki karakter dan peran masing-masing. Dan, ada dua tokoh yang paling menonjol. Protagonis & Antagonis. Simplenya, Baik dan Jahat. Selengkapnya bisa lo cari di wikipedia.

Diantara kedua peran tokoh tersebut, mana yang paling mungkin untuk di ikuti oleh anak-anak? Yang notabene masih kecil dan belum tentu bisa memilah mana yang baik dan mana yang buruk.

Bukan hanya anak kecil sebenarnya, tetapi menurut gue, hampir rata-rata orang didunia ini lebih mudah mengikuti hal buruk daripada melakukan hal yang baik. It's true.. Sesimple itu!

Tokoh buruk ini akan berada dipuncak teratas pemikiran seorang anak kecil. Karena setiap hari mereka muncul dilayar kaca, untuk dijadikan konsumsi yang sebenarnya penargetan acara tersebut hanya untuk kaum ibu-ibu yang tidak memiliki pekerjaan, ups, atau kaum ibu-ibu yang lelah pulang bekerja dari pagi hingga sore, lalu malamnya menikmati acara sampah sampai menunggu kantuk.

Media tidak salah. Maksud gue, tidak 100% salah. Disini, peran orang tua sangat penting. Jadi, biar adil gue menyalahkan 50% pada orang tua, dan 50% pada media. Karena pada bagian ini, orang tua masih dengan bebas mengawasi anak-anak mereka untuk menonton televisi. Beda halnya dengan media online yang sekarang dengan bebasnya menampilkan hal apapun (tidak terkecuali video porno). Ditahap ini, orang tua hanya berperan sedikit. Menurut pribadi, tahap ini orang tua hanya memiliki 15% kemampuan untuk menjaga anaknya. Nanti kita bahas.

Buah tidak pernah jatuh, jauh dari pohonnya. Pepatah yang sebenernya tidaklah 100% benar. Begini, bagaimana jika ada seseorang penjahat yang telah merampok bank lebih dari 30 kali, menikah dengan seorang penggila judi dan pemabuk. Lalu mereka dikaruniai seorang anak, tetapi setelah dipikirkan kembali, mereka berdua menitipkan anaknya di panti asuhan (anggap saja seperti itu) karena mereka tidak mau kehadiran anak mereka akan membawa dampak buruk bagi kebiasaan mereka berdua. Lalu anak tersebut di adopsi oleh seorang keluarga yang bisa dibilang agamanya baik, dan menjunjung tinggi pendidikan. Sedari kecil, anak ini di didik oleh orang tua angkatnya untuk menjadi anak yang patuh dan pintar. Lalu, setelah si anak ini besar, apakah dia akan mengikuti jejak ayahnya sebagai perampok, atau ibunya sebagai pecandu mabuk dan judi? Atau.. Apakah anak ini akan mengikuti ajaran-ajaran yang telah diterimanya setiap hari dari kecil hingga besar?

Tentu si anak ini tidak akan memiliki sifat-sifat dari kedua orang tua aslinya. Sebenarnya, yang menjadikan si anak mirip seperti orang tuanya adalah, KEBIASAAN. Jadi, kebiasaanlah yang membuat seseorang melakukan apa yang dia 'mau' lakukan.

....

Disini, kakak gue berperan penting. Hobinya selepas pulang kerja adalah, menonton acara ditelevisi dengan rating terbesar didapatkan oleh ibu-ibu. Yaps, film India. Lalu, karena hal tersebutlah 'anak'nya menjadi mengikuti si ibunya. Ikut menonton film yang seharusnya tidak diperkenankan untuk anak kecil.

Kenapa tidak dilarang? Toh, mungkin pemikiran kakak gue, anaknya ini gak bakal ngerti apa yang ditonton. Maybe...

Karena diberikan tontonan tersebut. Jadilah anak ini semakin tidak memiliki sopan santun. Entah apa yang diambil dari film tersebut. Tetapi, bayangkan saja. Anak yang belum genap berumur 6 tahun, sudah mengerti arti perceraian, bunuh diri, diasingkan, keguguran, dan memilih fisik yang rupawan sebagai landasan utama untuk bergaul.

WTF Dude? u joking? Disini, gue tidak menambahkan sedikitpun cerita dan pengalaman mengenai paragraf diatas. Contoh simple. Keponakan gue, TIDAK PERNAH MAU dipeluk bahkan didekati oleh kedua orang tua gue. Yang Notabene adalah KAKEK dan NENEKnya. Tahu, alasannya? kedua orang tua gue dianggap tidak menarik (red: jelek). Bagaimana anak yang belum genap berumur 6 tahun bisa menilai seseorang dari fisik? Apa batasan fisik yang dia miliki untuk dapat masuk kriterianya harus seperti pemeran utama film India yang dia tonton?

Kedua, setiap gue memarahinya karena melakukan kesalahan. Dia selalu bilang, gue benci sama dia, dan gue bakal seneng kalo ngelihat dia bunuh diri. WTF? Dude.. whats wrong with this kid? Gini, gue gak terlalu paham dengan cerita yang diangkat oleh seluruh film India. Tapi, apakah didalam film tersebut, menampilkan bahwa kebencian seseorang dilihat dari kemarahan? Lalu, bagaimana jika orang tua marah kepada anaknya? Apakah itu menandakan bahwa hal tersebut adalah kebencian? Dan, dari mana dia tahu, kalo gue bakalan seneng ngelihat dia bunuh diri? Anjing! Kesel dah gue.

Lalu, apakah kebiasaan tersebut karena terpengaruh oleh lingkungan sekitar? Gue rasa, TIDAK! Gue membantah akan hal tersebut.

Beberapa kali gue sempat menasehati kakak gue mengenai hal tersebut. Ada dua jawaban, dari masing-masing kakak gue.

Kakak gue yang pertama (yang anaknya sering nonton India, membantah. Dia mengatakan, kebiasaan anaknya nonton India sama sekali tidak berpengaruh terhadap sifat anaknya dikehidupan nyata.

Lalu, kakak gue yang kedua (yang anaknya masih berumur dibawah 1 tahun), setuju. Dia mengatakan, hal tersebutlah yang membantu anaknya dalam mengambil sifat dan tindakan. Lalu dia juga mengatakan, tidak akan pernah mengizinkan anaknya untuk menonton sinetron. Dia sebagai orang tua akan mengalah, "Gpplah kakak gak nonton sinetron ini itu, biarin setiap hari anak kakak mau nonton kartun gak masalah, yang penting gak nonton sinetron."

Dari kedua jawaban tersebut, lo pasti bisa menyimpulkan, mana yang pemikirannya luas dan mana yang tidak. Ups, gue disini tidak bermaksud menghakimi, gue sayang kedua kakak gue. Untuk itulah gue harus menasehati mereka berdua. Karena gue adalah anak laki-laki sendiri, dan tugas gue adalah untuk menjaga mereka. Sekali lagi, bukan bermaksud menindas kaum perempuan atau menolak kesetaraan yang diperjuangkan Kartini, tetapi itulah gunanya laki-laki, menjaga mereka.

....

Dari penjelasan panjang kali lebar gue diatas, lo pasti bisa menyimpulkan. Bagaimana media sangat berperan penting dalam perkembangan jargon kids jaman now yang lagi hype banget. Bagaimana cara menyikapi setiap berita, dan bagaimana cara memberhentikan sifat-sifat yang sudah kelewat batas dari anak-anak sekarang.

Oh iya, pembahasan mengenai media online. Sekarangkan, lagi trending banget nih profesi menjadi Youtuber? Malah Presiden mencanangkan, akan membuatkan kurikulum khusus untuk mempelajari Vlogging. Disini, gue setuju. Inti permasalahannya bukan terletak disini. Melainkan, mereka yang berprofesi dan menyebut diri mereka sebagai Youtuber.

Konten mereka beragam. Ada yang positif, ada pula yang negatif. Tetapi, disisi negatif, gue agak kurang setuju dengan statement mereka yang seperti ini. "Ini konten gue, ini channel gue, jadi gue bebas mengupload apapun sesuai kemauan gue. Intinya, kalo orang tua gak mau anaknya salah jalan karena nontonin channel gue, ya di JAGA dong, di DIDIK, dan di AWASI."

Dude, WTF? Menjaga anak gak semudah lo nyerocos. Meskipun gue belom nikah dan belom pernah punya anak, gue ngerti keadaan ini.

Gini deh, di Indonesia masih banyak para orang tua yang gaptek (red: gagap teknologi/buta teknologi informasi). Lalu, orang tua mana yang mau anaknya juga ikut-ikutan gaptek? Gak mungkin dong, kalau si anak minta dibelikan gadget lalu orang tua menolak? Gengsi juga berperan penting disini.

Kalau si orang tua gak mau anaknya mengikuti perkembangan zaman, kenapa orang tua harus menyekolahkan anaknya setinggi mungkin? Nah, terus sekolah tinggi gunanya buat apa? Salah satu contohnya adalah, orang tua gue. Mereka berdua tinggal di kampung yang sampai sekarang mungkin hanya 10% saja yang sudah melek teknologi. Sisanya, tertinggal jauh! Tapi, mereka berdua tidak pernah melarang gue mengikuti perkembangan zaman. Mereka selalu memfasilitasi gue berbagai peralatan yang diperlukan sebagai penunjang perkembangan teknologi. Lalu, bagaimana cara kedua orang tua gue mengawasi gue? Sedangkan mereka sama sekali tidak tahu apa itu teknologi? Bahkan, facebook, dan google (yang notabene adalah dua perusahaan raksasa) pun mereka tidak tahu. Gimana? Apa iya, caranya dengan tidak memberikan gue akses terhadap teknologi?

Berpikirlah...

Tidak semua orang tua tinggal di area Jakarta, dan kota besar lainnya.. Yang dimana kota-kota ini adalah kota maju, sangat maju. Semua fasilitas penunjang sangatlah mencukupi. Lalu, bagaimana kabar orang-orang tua yang tinggal dikampung? Nyari sinyal buat nelpon anaknya aja susah, njing.

Lagi pula, tidak selamanya bermain gadget harus didepan orang tua. Bahkan sekarang sembunyi-sembunyi pun bisa. Asal ada kuota data. Berbeda dengan media yang ada ditelevisi. Pengawasan orang tua masih bisa dilakukan dengan penuh. Kalau anak bandel, matikan aja tv, dia gak bakal bisa nonton. Numpang nonton ditempat orang lain? Silahkan, toh belum tentu orang lain bakal nonton apa yang dia tonton.

Jadi, jangan nyalahin orang tua karena gak bisa mendidik atau mengawasi anaknya dalam penelurusan konten dijaringan internet.

Intinya, buatlah konten sebaik dan sebagus mungkin, yang bertujuan untuk mencerdaskan orang lain. Bukan menjerumuskan dan merusak. Baik itu media online ataupun saluran televisi. Karena masih banyak orang, terlebih anak kecil yang belum bisa memilah mana yang baik dan mana yang benar. Jangan terlalu menTuhankan rating! Its so easy, dude!

You Might Also Like

0 komentar