Karya

Sebuah Kertas Kehidupan "Biasa"

Sabtu, Desember 26, 2015

Cerpen Cinta
Img src: khazanah.republika.co.id

Drttt...drttt... Getaran yang berasal dari handphone tua yang memiliki layar retak berhasil mengagetkanku dari lamunan yang sedari tadi membuat aku terdiam mematung. Aku diam beberapa saat, hingga rasa penasaran muncul secara perlahan untuk sekedar melihat sebuah pesan yang sedari tadi meminta untuk dibaca.

From Ana: "Sorry, tidak denganku"

Sebuah kata yang mampu membuatku ingin menghentakkan kepala dimeja cafe ini berulang kali.

"Bodoh!" Aku berteriak, mengutuk diriku sendiri didepan banyak orang.

Tak lama berselang, aku semakin terlihat seperti orang idiot yang kehilangan arah. Seluruh pasang mata para pengunjung cafe melihatku dengan ekspresi muak. Mungkin mereka pikir, aku orang gila yang sedari tadi melamun, kemudian berteriak seperti sedang kesurupan.

Segera aku meninggalkan cafe keparat itu, beserta orang-orang didalamnya. Di titik ini, aku merasa hanya seorang diri. Aku muak! Lagi-lagi aku mengutuk diriku sendiri dengan sumpah serapah yang sedari tadi aku ucapkan dalam hati.

"Anjing!!, aku sangat bodoh!"

Mungkin dengan mengeluarkan makian ini, aku bisa membaik. Tapi, saat ini aku tidak bisa berpikir rasional, semuanya hitam. Sepanjang jalan, aku hanya mendengar suara lalu lalang kendaraan yang melaju dengan velositas tinggi. Ditambah klakson mobil yang sedari tadi selalu ingin berada didepan.

Aku hanya ingin cepat tiba dikamarku, aku masih belum puas mengeluarkan makian dan kutukan yang aku tujukan untuk diriku sendiri. "Kenapa aku sangat bodoh? Kenapa aku bisa berpikir seperti ini?" Kata-kata itulah yang sedari tadi aku pikirkan disepanjang jalan.

....

Jarum jam menunjuk ke angka 10.45, yang berarti aku sudah melamun hampir 5 jam lamanya. Melamunkan hal bodoh, dan mengingat semua kejadian dari titik awal. Titik awal kehancuran didiri sendiri. Seperti bom waktu, yang hanya menunggu menunjukkan angka 0.

....

Ketika aku mengingat semuanya... Aku mulai sadar, bahwa ini semua adalah salahku....

Satu tahun yang lalu, aku duduk disudut ruang tunggu sebuah rumah sakit swasta dikotaku. Menunggu namaku dipanggil oleh Dokter yang sedari tadi sibuk memerika pasien-pasien lain didalam ruangan berdiameter 4x3. Aku menyibukkan diri untuk menghilangkan kebosanan dengan bernyanyi pelan, hampir tak terdengar oleh telingaku sendiri.

"Hendro Dirgantara"

Akhirnya terdengar seorang wanita memanggil kuat namaku. Entah berasal darimana, tetapi aku dapat mendengarnya dengan jelas. Merdu, sangat merdu.

Aku melangkah pelan, menyusuri lorong rumah sakit untuk bertemu dengan dokter. Aku sedang sakit, tiga hari ini badanku terasa dingin, setiap pagi aku selalu bergetar kedinginan dan kepalaku selalu terasa berat.

Setibanya diruangan dokter, aku tidak melihat siapapun didalamnya. Sunyi, hanya terdengar suara air dari kamar mandi yang menetes sesekali. Aku duduk, dan lagi-lagi aku harus menunggu. Aku tidak suka menunggu, aku benci menunggu, karena ini adalah kegiatan yang menurutku sangat tidak berguna!

Sepuluh menit berlalu, tidak seorangpun masuk kedalam ruangan tersebut. Bosan menghampiri, dan ketika aku berniat keluar, ada seorang wanita yang tiba-tiba masuk kedalam dan berkata "Maaf, Dokter sedang menerima telfon dari Rumah Sakit lain. Mohon ditunggu sebentar".

Aku mengingat-ingat suara yang barusan aku dengar. Ya, dia adalah wanita yang memanggil namaku dengan suara merdunya. Lebih dekat aku mendengar suaranya, kali ini semakin merdu.

Cantik, sangat cantik. Itulah kesan pertama yang aku dapatkan dari wanita ini. Sedikit terlintas, aku pernah melihatnya. Tapi, aku tidak tahu pasti dimana dan kapan aku melihatnya.

....

Entah kenapa, aku mulai tidak nyaman dengan perasaanku. Aku semakin penasaran dengan wanita tersebut, aku ingin mengetahui lebih jauh lagi, siapa wanita itu sebenarnya. Kenapa tiba-tiba otakku dipenuhi oleh wajah wanita bersuara merdu tersebut.

....

Seminggu berlalu, dan seminggu ini aku habiskan dengan memikirkan wanita bersuara merdu yang aku temui dirumah sakit. Apakah aku bodoh? Mungkin. Dan mungkin inilah yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama.

....

Minggu 11.00

Hari ini aku duduk menyelesaikan desainku disebuah cafe yang terletak tidak jauh dari indekostku. Ya, aku adalah seorang karyawan yang bekerja diperusahaan swasta sebagai seorang desainer grafis. Aku juga sering bekerja freelancer, sebagai seorang yang mendokumentasikan sesuatu berbentuk film.
....

Aku hanya seorang babu perusahaan yang tinggal dikamar berukuran 3x3, yang sudah dua tahun ini tidak pernah aku bersihkan. Busuk, itu adalah kesan yang orang lain dapatkan ketika berkunjung kekamarku. Tapi untukku, kamar ini adalah hasil dari semua kerja kerasku. Aku mencium apa yang orang lain cium, tetapi akan berbeda wanginya jika masuk ke rongga hidungku. Aku sudah terbiasa, aku senang dengan bau kamarku.

....

Beberapa jam kemudian, aku mulai bosan dengan apa yang sedang aku kerjakan. Aku mengamati sekitar ruangan cafe, mencari hal-hal lucu yang biasanya akan aku tertawakan didalam hati. Ya, aku adalah orang yang suka mengolok keburukan orang lain, padahal aku sendiri mungkin lebih buruk dari mereka.

Pandanganku terhenti, ketika aku menemukan seorang wanita yang sedang duduk persis didepanku. Hanya berjarak dua meja dari tempat aku duduk. Sedang tersenyum melihat layar handphonenya. Lagi-lagi, aku merasa bahwa aku pernah melihat wanita ini.

Ya! Aku ingat! Dia adalah wanita bersuara merdu yang seminggu lalu aku melihatnya tiba-tiba masuk kedalam ruangan periksa, memakai baju putih, memberitahukan bahwa dokter yang akan memeriksaku sedang menerima telfon dari rumah sakit lain.

Seketika, aku merasa gembira. Entahlah, aku tidak tahu apa yang mendasari kegembiraan ini. Gembira, seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan kesukaannya.

Rasa penasaran mengalahkan rasa maluku. Aku mendatangi wanita tersebut, dan duduk dikursi depannya. Memandang penuh rasa penasaran, kemudian membuka pembicaraan "Hey, bukankah kau wanita yang aku temui dirumah sakit, seminggu yang lalu?" Aku sudah tidak perduli, apa yang akan dilakukan wanita ini. Apakah dia akan pergi, atau apakah dia mengira aku seorang penjahat yang memata-matainya. Atau aku dianggap seorang psycho, karena tiba-tiba datang dan bertanya pertanyaan yang mungkin dia sendiri tidak tahu mengenai apa yang aku tanyakan.

"Ya, aku mengingatmu"

Suara merdu wanita itu kembali aku dengar. Entah kenapa, kali ini suaranya semakin lembut, merdu dan sangat-sangat merdu.

"Apa kau benar-benar mengenaliku?" Wanita itu melanjutkan perkataannya.

"Ya, tentu saja. Kau adalah wanita dengan pakaian putih, yang tiba-tiba datang dan memberitahukan jika dokter yang akan memeriksaku sedang menerima telfon dari rumah sakit lain" Jawabku tegang.

"Selain itu?" Tambah wanita cantik yang sedari tadi memandangiku dengan ekspresi yang sulit aku tebak.

"Mungkin hanya itu. Tetapi, dilain waktu aku juga pernah melihatmu... Entah kapan, tapi aku merasa pernah melihatmu." Lagi-lagi aku menjawab, tetapi kali ini keteganganku mulai menghilang.

"Mungkin..." Wanita itu hanya menjawab satu kata. Kemudian diam...
"Kau benar, kau pernah melihatku dilain waktu" Dia melanjutkan perkataannya.

Aku terkejut, dan rasa penasaranku semakin besar. Aku berkeringat. Menunggu perkataan selanjutnya, yang akan keluar dari wanita bersuara merdu itu.

Beberapa menit berlalu, wanita itu hanya diam sambil memandangi layar handphonenya, sambil mengetik-ngetik sesuatu yang aku sendiri pun tidak tahu isinya. Rasa penasaranku lambat laun hilang. Aku pikir, mungkin dia hanya bercanda. Menganggapku orang asing, yang tiba-tiba melontarkan pertanyaan bodoh. Jelas bodoh, tentu saja dia tidak mengingatku. Aku hanya pasien biasa yang memeriksakan diri ke dokter. Banyak pasien sepertiku yang seminggu lalu juga bertemu dengannya.

Ketika aku ingin memalingkan badan dan kembali ke kursiku, dia mulai melanjutkan perkataannya. "Hey, kau benar-benar tidak mengingatku?" Dia kembali menanyakan pertanyaan yang membuat aku semakin bingung.

"Tidak" Jawabku sekenanya.

"Kau sombong haha," Kembali wanita itu membuat aku berpikir.
"Ingat Randy? Tiga tahun yang lalu aku adalah pacarnya". Dan kau teman Randy bukan? Haha" Wanita itu tertawa terbahak-bahak. Seakan-akan aku adalah bahan lelucon.

"Hah?! Apakah kau Ana?" Tanyaku terkejut.

"Ya, aku Ana. Hahahaha" Kali ini tawanya makin besar, hingga seisi cafe mendengar tawanya.

"Wow, kau tampak berbeda Ana. Dimana kacamatamu? Dan kau sekarang mengenakan kawat gigi" Tanyaku keheranan.

"Hahaha, kau masih saja lucu. Aku pikir kau pura-pura tidak mengenaliku. Aku sudah tidak mengenakan kacamata. Aku sekarang menggunakan softlens, lebih praktis. Dan kawat gigi, aku ingin meratakan gigiku. Kau tahu sendiri, dulu gigiku sedikit tidak rata haha". Jawabnya, masih diselipi dengan tertawa.

Aku mengingat-ingat memori usang tiga tahun yang lalu. Ternyata ada Ana dimemori tersebut. Seorang wanita kurus dengan perawakan tinggi, yang berpacaran dengan temanku ketika kami SMA.

Tetapi, sekarang dia begitu berbeda. Berubah 180 derajat. Aku saja tidak mengenalinya. Dia sekarang mengenakan kawat gigi, katanya untuk meratakan giginya. Atau mungkin untuk menjaga giginya agar tidak lepas, pikirku. Kulitnya semakin putih, meskipun sejak dulu dia sudah memiliki kulit putih. Sedikit berisi, tidak kurus seperti tiga tahun lalu. Kacamatanya pun sudah tidak dikenakannya, dia sekarang menggunakan softlens. Pantas saja matanya berwarna kecoklatan.

....

17.00

Tidak terasa sudah sekitar dua jam kami berdua mengobrol, membicarakan kenangan semasa SMA. Sedikit yang bisa disimpulkan dari ceritanya, setelah lulus SMA ternyata Ana melanjutkan kuliahnya disalah satu perguruan tinggi Jakarta. Mengambil jurusan Keperawatan gigi. Setelah lulus, dia kembali kekota ini dan mencari pekerjaan. Dan satu tahun yang lalu, Ana resmi bekerja menjadi Asisten Dokter. Katanya, hanya ingin mencari pengalaman. Kemudian membuka prakteknya sendiri.

Ya, aku tidak mengira. Keputusanku memeriksakan diri dirumah sakit ternyata berujung baik. Padahal sedari dulu, aku paling anti untuk datang kerumah sakit. Aku tidak ingin sakit, dan aku benci rumah sakit!

....

Setelah kejadian itu, aku dan Ana sering bertemu hanya untuk sekedar mengobrol ringan ataupun dia meminta bantuanku untuk mendesain sesuatu. Karena diawal pertemuan aku sempat menceritakan bahwa aku bekerja sebagai seorang desainer grafis kepada dia.

Seandainya dia tahu. Tiga tahun yang lalu, ketika pertama kali aku melihat dia berlari karena terlambat dihari senin saat mengikuti upacara bendera, aku sudah suka kepadanya. Sayangnya, ketika dulu aku ingin mengenalnya, aku mengetahui kabar jika Randy temanku adalah pacarnya.

Sangat disayangkan. Randy adalah pria tampan, idola semua wanita disekolah. Tinggi, putih, dan mungkin semua kelebihan ada pada temanku ini. Aku kalah telak, aku hanya seorang pecundang yang cuma membayangkan menjadi seperti Randy.

Aku selalu berpikir, tidak mungkin orang sepertiku bisa memiliki wanita cantik seperti Ana. Sementara selera Ana, pasti sekelas pria seperti Randy. Sedangkan aku? Tidak akan dipikirkan sama sekali! Ya, aku tidak memiliki rupa yang di impikan seorang wanita. Pendek, hitam, dekil, gaya kampungan, dan tidak berbakat. Aku juga bukan berasal dari keluarga kaya, aku hanya seorang anak dari petani kampung. Ya, aku adalah pecundang!

....

Minggu, Pertengahan November 2012

Hari ini, aku diminta Ana untuk datang ke cafe biasa. Cafe dimana aku menyadari, bahwa wanita cantik bersuara merdu itu adalah Ana, teman semasa SMAku. Ana memintaku untuk datang jam delapan pagi.

Keparat! Hari minggu yang biasa aku gunakan untuk bangun siang, karena terbebas dari pekerjaanku sebagai babu perusahaan, dirusak oleh seorang Ana. Anehnya, aku tidak keberatan. Dan aku merasa senang.

Jam menunjukkan pukul tujuh. Aku segera bergegas mandi dan berangkat. Sekitar jam delapan, aku sampai dicafe yang sudah tidak asing lagi bagiku. Tepat didepan pintu masuk, aku melihat Ana sudah duduk, mengenakan pakaian rapi. Dan selalu terlihat cantik. Mungkin, setiap hari Ana semakin cantik. Itu adalah pikiranku.

"Sial!!" Aku bergumam, karena aku datang terlambat. Ya, aku tidak suka terlambat. Apalagi jika bertemu dengan Ana, aku tidak ingin melewatkan satu menitpun kebersamaanku dengan Ana. Semua ini gara-gara jalanan yang macet! Metromini yang aku tumpangi jadi sering terhenti, keparat!! Aku terus bergumam sembari berjalan kearah Ana.

"Hey, sudah lama?" Aku membuka pembicaraan, sambil mengeluarkan laptop dari tas kusam kepunyaanku.

"Tidak, baru beberapa menit. Pesananku juga belum datang" Jawabnya dengan suara merdu.

Tak henti-hentinya aku mengatakan bahwa Ana memiliki suara merdu dan wajah yang cantik. Ya, menurutku dia adalah wanita sempurna, sangat-sangat sempurna. Jika dibandingkan dengan aku, aku lebih terlihat seperti supirnya, atau bahkan pembantunya.

"Maaf tadi macet, ada apa kau menyuruhku kesini?" Aku bertanya sambil melihat-lihat menu, memikirkan apa yang akan aku pesan. Meskipun aku sedang tidak punya uang, aku rela datang ke cafe mahal ini demi bertemu dengan Ana.

"Anak dokter dirumah sakitku dua hari lagi akan merayakan ulang tahunnya. Lalu dokter itu menyuruhku untuk mendesain undangan ulang tahun untuk anaknya. Apakah kau bisa membantuku?" Pintanya, kali ini tidak perlu lagi dijelaskan mengenai suaranya. Tetap lembut, dan merdu.

"Itu hal yang sangat mudah bagiku, akan aku kerjakan sekarang" Jawabku antusias. Apapun yang Ana minta, aku akan coba mengabulkannya. Seperti jin botol, tapi aku seorang manusia.

Dibeberapa kesempatan disela-sela pekerjaanku mendesain undangan permintaan Ana, aku selalu mencuri-curi pandangan, melihat wajah Ana yang sangat cantik. Kadang aku terlena, hingga lupa dengan pekerjaanku. Aku selalu suka, ketika dia bertanya mengenai caraku bekerja, dan bagaimana cara mendesain sesuatu agar terlihat lebih menarik.

....

12.45

Aku menyelesaikan desain yang diminta Ana. Sedikit lama, karena terkadang aku diganggu oleh Ana.

Biasanya, aku akan marah jika aku diganggu ketika sedang bekerja. Tetapi, lain halnya dengan Ana. Aku tidak bisa marah kepada Ana. Malah, aku sangat suka ketika dia mengganggu dan membuatku harus mengulang desain dari awal.

Difase ini, aku semakin gila. Rasa suka tiga tahun lalu terus ada, dan dari pertemuan lalu, rasa suka kepada Ana semakin besar.

Kadang aku berpikir, apakah ini semua rencana Tuhan? Menemukanku dengan Ana, yang dari tiga tahun lalu aku sudah tidak pernah lagi bertemu dengannya. Jika ini rencana Tuhan, apakah akan indah untuk diriku? Tetapi, dengan segera aku menghilangkan pikiran ini. Aku hanya ingin memikirkan Ana, Ana, dan Ana.

....

Intensitas pertemuanku dengan Ana semakin tinggi. Aku yang biasanya tidak semangat untuk menjalani hari kerjaku, kini menjadi lebih bersemangat. Aku yang tidak pernah membersihkan kamar indekostku, sekarang setidaknya dua minggu sekali selalu aku bersihkan. Kini bau busuk yang menemani hari-hariku selama dua tahun belakangan sudah hilang, tergantikan dengan pewangi ruangan, wangi yang dicampur dengan cinta.

Ana semakin sering datang ke indekostku hanya untuk menumpang makan siang, ataupun jika dia sedang suntuk dirumah. Aku selalu senang jika Ana datang. Dan akan selalu senang.

....

Rabu, Akhir Maret 2013

Seiring berjalannya waktu, hubunganku dengan Ana semakin lama semakin dekat. Aku merasa, bahwa Ana memiliki rasa kepadaku. Bukan terlalu percaya diri, tetapi dari perlakuannya beberapa bulan belakangan ini, dia sering menunjukkan perhatiannya kepadaku.

Ketika aku sakit dan tidak bisa bekerja, dia datang ke indekostku untuk sekedar membelikan aku obat dan membelikan aku makan. Ataupun ketika aku mengajak dia untuk menonton salah satu film dibioskop, dia tidak pernah menolak. Meskipun beberapa kali aku sempat melihat dia berbicara melalui telfon dengan seseorang.

Tetapi aku yakin. Dan kali ini, aku tidak ingin menjadi seorang pecundang, lagi. Aku harus berani mengungkapkan perasaanku sejak tiga tahun yang lalu, ketika pertama melihat dia. Aku tidak ingin tertinggal dibelakang lagi. Dan aku harus menerima semua resiko yang terjadi selanjutnya.

Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Sejak seminggu yang lalu, aku sudah mempersiapkan rencana untuk memberikannya kejutan. Aku memilih memberikannya kejutan dicafe tempat pertama kami bertemu. Ya, cafe dipinggiran jalan dekat indekostku.

Aku mempersiapkan semuanya dengan matang. Dan dengan mudah aku mendapatkan izin dari supervisor cafe tersebut, mungkin karena aku sering berada disana.

Tidak mewah, dan tidak mahal. Hanya sebuah meja yang dilengkapi dengan lilin, dan band akustik yang nantinya akan menyanyikan lagu sesuai dengan permintaanku. Aku ingin membuat candle light dinner sederhana dengan Ana. Aku pikir, Ana suka dengan kesederhanaan.

18.30

Aku berdandan rapi, layaknya seorang pria tampan. Aku sudah menyiapkan parfum kesukaan Ana, untuk aku pakai malam ini. Rambut yang sudah lama tidak aku sisirpun malam ini akan aku sisir serapi mungkin. Aku sudah siap. Karena malam ini adalah malam spesial, aku tidak ingin terlambat. Aku meminjam motor teman indekostku, yang kebetulan tidak dia pakai.

....

"Ana, bisa kau datang ke cafe biasa? Ada hal penting yang ingin aku katakan" Jari-jariku mengetikkan pesan singkat melalui handphone tuaku.

Hingga setengah jam, Ana masih belum membalas pesan yang aku kirimkan. Aku mencoba mengirimkannya lagi, tetapi hasilnya masih sama. Tidak ada balasan yang muncul dihandphoneku.

Kali ini, aku masih berpikir bahwa Ana sedang sibuk, ataupun ketiduran karena seharian sudah lelah bekerja.

Hingga jam menunjukkan pukul 20.00 Ana masih tidak membalas pesanku. Sementara orang-orang mulai berdatangan dan memenuhi cafe tempat aku berada. Aku cemas, tetapi aku masih bisa mengontrol emosiku.

Kali ini, jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Aku sudah tidak sabar menunggu. Aku pulang dengan perasaan kecewa, tetapi aku terus berpikir bahwa Ana sedang memiliki pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, ataupun tertidur karena lelah.

Aku membuka pintu indekostku, pulang dengan perasaan campur aduk. Bingung, atau frustasi, akupun tidak tahu.

Tak berselang lama, aku tertidur....

....

Keesokan paginya aku bangun, bersiap-siap dan bergegas pergi kerumah Ana. Kali ini aku menggunakan metromini, menyebabkan aku harus mengikuti kegiatan "macet" yang sudah menjadi tradisi dikota ini.

Setibanya dirumah Ana, aku tidak mendapati Ana ada disana. Aku pikir, mungkin dia sedang pergi.

Lalu aku memutuskan untuk pergi. Kali ini aku pergi kesebuah cafe kecil, tidak begitu mahal, dan sangat cocok untuk tidak menguras isi dompetku.

Cafe ini berseberangan dengan cafe paling mahal dikota ini. Cafe Letra, itu adalah nama cafe tersebut. Cafe tempat orang-orang kaya menghabiskan uangnya, cafe tempat anak muda yang memiliki kebiasaan dan sifat hedonism berkumpul, dan cafe tempat dimana para pengusaha bertemu.

Dari sini, terlihat sebuah mobil mewah dan mahal berhenti didepan cafe tersebut. Aku berpikir, yang ada didalam mobil tersebut pastilah orang kaya. Sangat kaya, hingga kendaraannya pun harus memiliki harga yang mahal.

Tiba-tiba... Aku terkejut... Ketika yang keluar dari mobil itu adalah seorang pria tampan, berperawakan tinggi, putih, dan memakai setelan khas orang kaya, bersama seorang wanita yang sangat-sangat aku kenali. Ya, pria itu bersama Ana.

Terlihat mereka berdua sangat akrab, bergandengan tangan hingga memasuki cafe tersebut.

Aku sangat terkejut. Seketika tubuhku menjadi beku, aku sulit bernafas dan emosiku sebentar lagi naik. Aku harus pergi dari cafe ini. Tapi aku tidak bisa pulang ke indekostku, karena semakin aku sendiri, semakin pula aku banyak memikirkan suatu hal.

Aku lebih memilih pergi ke cafe biasa, cafe dimana aku dan Ana sering menghabiskan waktu.

Cafe ini terlihat ramai, entahlah mungkin karena hari ini adalah hari libur. Aku duduk persis ditempat aku duduk tadi malam. Aku memandangi sekitar, sambil mengajukan banyak pertanyaan didalam hati. Mungkin pertanyaannya terlalu retoris, tetapi aku tetap bertanya.

Aku beranikan diri untuk mengetikkan pesan singkat untuk Ana.

"Ana, kau dimana? Kenapa tadi malam kau tidak membalas pesanku?" Jari-jariku serasa berat untuk mengetikkan pesan singkat ini.

Lagi-lagi, aku harus menunggu lama untuk mendapatkan jawaban pesan dari Ana.

Aku memesan kopi kepada pelayan cafe ini, tidak perlu berkata, karena pelayan cafe ini sudah mengenalku dan menghafal kopi pesananku. Ya, kopi hitam dengan dua sendok gula.

Dua jam berlalu, handphone tuaku bergetar dan kali ini tertulis nama "Ana" dilayar depan. Aku segera membuka pesan yang Ana kirimkan, lalu membacanya.

"Dirumah, aku baru saja pulang dari Letra. Dengan kekasihku" Begitulah balasan yang tertulis dilayar handphoneku.

Degg.. seketika darah disekujur tubuhku seperti naik keatas kepala. Aku ingin berteriak, tetapi aku sadar aku berada dikerumunan orang banyak.

Batinku berperang hebat, seperti pertempuran yang tidak pernah bisa dipadamkan. Tetapi aku masih memberanikan diri untuk membalas pesan Ana.

"Kau tahu, sejak tiga tahun yang lalu, dihari senin, ketika aku melihatmu berlari terengah karena terlambat, aku sudah menyukaimu. Kau layaknya wanita paling sempurna dimataku. Ketika ingin berkenalan, aku mendapat kabar bahwa kau adalah pacar temanku. Aku kalah sebelum berperang, aku adalah seorang pecundang. Ya, seperti seorang budak yang menyukai ratunya. Berharap strata sosial tidak berpengaruh penting bagi kehidupan.

Tapi, kali ini aku tidak ingin menjadi seorang pecundang. Aku ingin mengatakan, aku suka kamu Ana. Dan mungkin, aku mencintai kamu. Ya, aku tahu jika dibandingkan dengan pacarmu, aku hanya seperti setitik kotoran disepatu mahalnya. Aku, hanya ingin mengungkapkan, karena aku takut aku tidak mempunyai waktu lagi untuk mengatakan."

Aku mengirim pesan itu dengan jari-jari yang sudah lemah. Aku tidak mempunyai harapan lagi, seperti kembali ke beberapa bulan yang lalu, ketika aku belum memeriksakan diriku ke dokter. Ketika aku belum mendengar suara merdu dari seorang wanita, ketika aku belum melihat wajah cantik seorang wanita, dan ketika aku belum mengetahui bahwa wanita cantik yang ada diotakku adalah temanku tiga tahun yang lalu.

Aku melamun, ditengah kesedihanku.

Drtt... Drtt... getaran dari handphone tuaku mengagetkan lamunanku, sebenarnya aku tidak ingin membuka pesan itu, tetapi rasa penasaran mengalahkan rasa takutku. Dan ketika aku membukanya, aku membaca,

From Ana: "Sorry, tidak denganku"

Sebuah kata yang mampu membuatku ingin menghentakkan kepala dimeja cafe ini berulang kali.

"Bodoh!" Aku berteriak, mengutuk diriku sendiri didepan banyak orang.

Tak lama berselang, aku semakin terlihat seperti orang idiot yang kehilangan arah. Seluruh pasang mata para pengunjung cafe melihatku dengan ekspresi muak. Mungkin mereka pikir, aku orang gila yang sedari tadi melamun, kemudian berteriak seperti sedang kesurupan.

Aku berteriak, "Cafe Keparat!", ya karena cafe ini adalah tempat dimana aku mengetahui bahwa wanita bersuara merdu yang aku pikirkan selama satu minggu adalah Ana, teman semasa SMAku.

....

Didalam indekost, aku merenungi apa yang terjadi, sembari terus mengutuk diriku sendiri dengan sumpah serapah yang sedari tadi aku lontarkan.

Aku berpikir, dan terus berpikir.

Ketika aku mengingat semuanya... Aku mulai sadar, bahwa ini semua adalah salahku....

Semua pemikiranku selama ini ternyata salah. Ya, seorang wanita cantik tidak akan mungkin menyukaiku, seorang biasa. Pria miskin yang kekurangan uang, tinggal di indekost berukuran 3x3 dan setiap hari hanya pergi menggunakan metromini.

Aku terlalu berharap. Lagi-lagi, berharap bahwa strata sosial tidak berpengaruh. Kenyataannya, didunia ini tidak seperti yang kita harapkan. Seseorang yang memiliki rasa cinta dan sayang yang besar, akan kalah dengan seseorang yang memiliki mobil mewah, lengkap dengan pakaian khas orang kayanya.

Seorang biasa, tidak akan bisa bersama dengan orang luar biasa.

Dan sekarang, aku menyadari. Bahwa...

Seorang wanita sempurna, tidak akan bisa tertulis disebuah kertas kehidupan orang biasa. Menuliskannya saja butuh keberanian yang besar, dan harus bersiap untuk kecewa, karena lembar yang sudah tertulis akan robek dengan sendirinya.

Ya, aku tidak bisa melanjutkan untuk menulis namamu hingga sampai pada lembar kertas akhir buku kehidupanku. Karena namamu akan tergantikan dengan nama wanita lain, yang lebih sempurna darimu, lebih tulus darimu, dan lebih memiliki perasaan daripada dirimu. Dan tentu saja, wanita itu akan mencintaiku karena kekuranganku, bukan kelebihanku :)


-Gipsy Marpaung
.................................................................................................................................................................

Cerita ini murni karya Gipsy Marpaung. Bagi siapapun yang ingin menulis ulang cerita ini, mohon untuk mencantumkan nama.

Gue terinspirasi membuat cerita ini karena keresahan gue yang lagi ditinggal temen kontrakan liburan. Dan mungkin, ada sedikit pengalaman gue pribadi haha.

Bagus atau tidaknya, semua tergantung dari pembaca. Gue pemula, yang baru belajar merangkai kata demi kata. asek.
Read More »

Daily Absurd

Memang Benar, Jogja itu Terbuat Dari Rindu, Pulang, dan Angkringan

Sabtu, Desember 12, 2015

Img src: initempatwisata.com

Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan
- Joko Pinurbo

Jogja, siapa yang tidak kenal dengan salah satu kota terindah dipulau Jawa. Jogja, terkenal dengan kekentalan budayanya. Jogja, destinasi wisata yang tak kalah dengan pulau Dewata. Jogja, kota pendidikan yang memiliki banyak kampus dan mahasiswa. Jogja, adalah segalanya.

Banyak yang mengukir kisah kasih klasik di kota Jogja, menjadikannya sebagai kota yang memiliki banyak cerita. Banyak seniman jalanan yang berhasil, suatu kota yang mengajak para masyarakatnya untuk bebas berkarya.

Joko Pinurbo, seorang yang bisa dibilang pujangga juga menuangkan kata untuk Jogja. Kota yang memberikan harapan untuk banyak anak muda. Memberikan harapan untuk banyak orang tua, yang menunggu anaknya pulang dari ranah perantauan.

Kota yang dipenuhi dengan berbagai kesibukan aktivitas seluruh masyarakatnya.

Pertengahan Desember, 2015

Sore ini, terlihat banyak orang berlalu lalang menyusuri jalan Malioboro dipusat kota yang sangat identik dengan Jogja. Penuh, sesak, sempit. Begitulah keseharian di Jalan Malioboro. Pusat jajanan oleh-oleh kota Jogja. Pusat para wisatawan yang datang dari berbagai belahan dunia. Dengan tujuan untuk mengabadikan momen dengan berfoto ria bersama keluarga atau sang kekasih tercinta.

Hujan disore membuat jalanan lebih lenggang dari biasanya. Penjual gudeg yang sedang berkeliling menjajakan dagangannya juga turut berhenti didepan kerumunan. Berhenti untuk menghindarkan diri dari serangan rintikan hujan yang kian lama memiliki velositas yang semakin tinggi.

Terlalu kontradiktif, berbeda dengan suasana dipinggiran kota. Jalanan yang mulai sepi, para pekerja kantoran yang pulang kerumah dengan mengandalkan mantel untuk menutupi badannya dari air hujan. Para mahasiswa yang sedari tadi menunggu hujan reda sambil bermainkan gitar diwarung-warung kopi.

...

Malam harinya, terlihat kumpulan gerobak jajanan pinggir jalan sedang mencari tempat untuk membuat dirinya dikerumuni orang ramai. Klasik, begitu indah tenda warung pinggir jalan yang tersusun rapi dengan para pengunjung yang tidak pernah sepi.

Tidak bermaksud melupakan, gerobak angkringanlah yang sedari tadi ditunggu banyak mahasiswa ataupun lainnya.

Hawa hujan sore masih membekas diatas tanah Jogja. Memberikan efek dingin semerbak disekujur tubuh, memaksa setiap orang untuk mengenakan pakaian yang bisa menepis efek dingin.

Sedari sore, gerobak angkringan sudah dipenuhi oleh orang-orang yang ingin mengisi perut dengan sedikit nasi yang dibungkus dengan daun pisang dilapisi koran. Aneh, tapi disinilah letak keindahannya.

Intensitas kendaraan mulai berjalan seperti biasanya. Para peneduh yang sedari tadi bosan menunggu kapan hujan reda sekarang berlomba-lomba untuk sampai kerumahnya. Penjual gudeg yang sedari tadi menjajakan dagangannya pun ikut pulang, menikmati indahnya malam dikota Jogja.

Jalanan bising, kota yang tidak pernah tidur, hampir sama seperti keadaan Ibu Kota. Tetapi, ketenangan akan selalu ada, mengalir menyusuri ribuan meter panjang kali code. Men aku wong cilik, kaliku harus resik. Ratusan tulisan yang berjejer disepanjang kali code, mengingatkan masyarakat pinggiran kali untuk selalu menghargai sungai.

Kembali lagi menyusuri jalanan kota yang tidak pernah sepi. Tepat di selatan Monumen Jogja Kembali, berdiri kokoh sebuah tugu yang bernama Tugu Jogja. Tempat dimana para wisatawan ikut merasakan sensasi luar biasa ketika berada di Jogja. Sesak, Penuh, sama seperti destinasi lainnya. Puluhan muda-mudi berfoto ria, hanya untuk menunjukkan "Ini adalah Tugu Jogja, dan Aku sudah pernah datang kesini" kepada teman-temannya.

Grafiti yang berjejer disetiap sudut tembok. Sedikit usang, kotor. Tapi, banyak juga keindahan dan makna yang tersirat didalamnya.

Meskipun sesaat, kalian akan merasakan indahnya kota Jogja. Jogja memberikan banyak harapan, cerita, dan rasa rindu.

Harapan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih layak.
Cerita yang memiliki nilai seni tersendiri. Dan,
Rasa rindu setiap orang tua yang ditinggal anaknya.

Ternyata, memang benar. Jogja itu terbuat dari Rindu, Pulang, dan Angkringan.

-Gipsy Marpaung-
Read More »