Banyak motivator terkenal berkata "Jangan takut, jangan pernah menyerah", seakaan berprasangka bahwa semua masalah didalam hidup memiliki solusi untuk diselesaikan.
Lalu, apakah menyerah bukan salah satu solusi untuk menyelesaikan suatu permasalahan?
Beberapa keadaan memaksa kita untuk tetap bertahan meskipun digempur habis-habisan. Namun ada beberapa keadaan yang juga memaksa kita untuk menyerah jika suatu kemungkinan berpersentase nol. Menyerah bagi sebagian orang digunakan untuk bertahan, dan melanjutkan. Untuk Saya, menyerah digunakan untuk melupakan.
Sebagian keadaan memaksa untuk tetap bertahan, apapun alasannya.
Sebagian lagi diam-diam berbisik pelan, tapi terus-terusan terngiang untuk memikirkan kapan semua akan dilepaskan.
Menyerah bukan berarti menjadi pengecut. Seolah harus menanggung semua resiko terburuk karena tidak mau berusaha lebih. Nyatanya, menyerah tidak semenakutkan itu.
Menerima memang mudah, tapi apakah sudah mengikhlaskan?
Saya ingin mencoba menuliskan analogi sok tahu yang baru saja terlintas dikepala Saya karena belum bisa tidur padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga pagi.
"Tetesan air tidak pernah menyerah untuk mengikis sebuah batu yang sangat keras, berapapun waktu yang diperlukan, ia tidak akan menyerah"
Seperti memiliki dua premis dengan cerita yang berbeda. Bisa saja tetesan air memang tidak pernah menyerah, tetapi apakah batu melakukan hal yang sama? Apakah ada kemungkinan bahwa ternyata batulah yang sebenarnya sudah menyerah oleh tetesan air?
Sudut pandang yang sering Saya tekankan disetiap hal memungkinkan untuk membantu memahami bagaimana dan kenapa. Menjawabnya dengan mudah, meskipun sedikit membingungkan pada awalnya.
Bagi Saya, 7 tahun merupakan batas masa untuk melepaskan, merelakan, melupakan.
Menyerah menjadi satu-satunya pilihan yang tersedia dikolom sebuah jawaban. Walaupun konotasi pilihan sendiri adalah pasti lebih dari dua, tapi jawaban yang benar hanya satu bukan? Dan tanpa harus menebak dengan kancing baju layaknya sedang mengisi ujian, Saya yakin jawaban dari pertanyaan ini adalah menyerah.
Semua ada masanya, dan setiap masa ada batas waktunya.
Begitu pula dengan apa yang sedang Saya alami beberapa minggu kebelakang hingga saat Saya menulis ini. Masa untuk bertahan telah mencapai batas waktu. Seperti mengisi billing di warung internet, tapi kali ini tidak bisa ditambah, karena sudah dipesan oleh orang lain. Lagipula Saya sedang malas berjalan ke operator untuk membayar lagi.
Saya harus melepaskan apa yang sejatinya bukan untuk Saya
Saya harus merelakan apa yang seharusnya bukan kepunyaan Saya
Saya harus melupakan apa yang sebenarnya bukan takdir Saya.
Pontianak, 25 Juni 2020