BUDAYA "MENGIKUTI"

Kamis, Mei 24, 2018

Sifat alami manusia adalah mengikuti. Sejak lahir, kita dituntut untuk mengikuti instruksi dari orang tua, entah itu berjalan, berbicara, mendengar dan lain sebagainya. Mengikuti adalah salah satu cara manusia agar dapat 'sama' dengan manusia lainnya. Jika tidak, maka kau akan beda katanya.

Begini, budaya 'mengikuti' sudah ada sejak zaman dahulu kala. Saya pribadi, tidak percaya dengan yang namanya orisinalitas. Semua yang diciptakan adalah plagiarisme, dalam tanda kutip "dikembangkan". Saya tidak mau berdebat, logika kan sendiri saja.

Salah satu budaya mengikuti yang akan Saya bahas adalah, mengenai sastra, bahasa tingkat dua, dan membaca.

Jika dilihat beberapa tahun kebelakang, budaya membaca, sastra, dan bahasa tingkat dua mulai bangkit lagi. Banyak anak-anak muda katanya menjadi penggemar sastra, berlomba-lomba menuliskan sebuah kata-kata manis dilaman media sosial mereka. Bahasa yang digunakan pun tergolong menarik, Anda dan Saya sebagai pembaca dituntut untuk mengetahui tingkatan bahasa yang lebih dalam. Dituntut untuk membuka kamus tesaurus jika ingin mengerti. Entahlah, mungkin mereka berkolaborasi dengan developer aplikasi kamus di smartphone agar banyak di unduh dan digunakan.

Saya tidak mengerti akan mereka yang melakukan hal tersebut, entah untuk apa tujuannya dan apa maksudnya. Saya sendiri sudah mulai menulis sejak pertama kali masuk ke Sekolah Menengah Atas, sekitar tahun 2012 dan hingga sekarang terus "belajar menulis". Saya akui, awal mula Saya tertarik dengan penulisan ketika seorang Raditya Dika yang memulai karirnya menjadi seorang blogger bisa terkenal dan banyak uang hanya karena menulis. Lalu menjadi sutradara hebat yang memiliki rumah dan kucing seharga motor Saya.

Dengan bodohnya, saya mengikuti gaya penulisan yang dilakukan oleh beliau. Dengan harapan yang sama, "terkenal". Karena dengan sombong saya berkata dalam hati "Saya lebih lucu dari Raditya Dika". Nyatanya? Sejak 2012 Saya menulis buku untuk pertama kalinya dengan judul "BATAITUKERAS", dan hingga sekarang Saya tidak dapat menerbitkan satu buku pun.

Mengerti? Tidak selamanya budaya mengikuti adalah baik.

Kembali lagi, dengan segelintir orang yang katanya sangat cinta dengan sastra. Padahal jurusan yang diambilnya pada saat kuliah adalah ilmu ekonomi, pemerintahan, pertambangan. Lalu, dimana seninya?

Semenjak munculnya kutipan-kutipan yang dengan sengaja di copy-paste dari Google ke Instagram. Semakin banyak anak-anak yang mendadak menjadi pujangga. Mereka membawa buku yang Saya perkirakan halamannya berjumlah 300+ untuk ditenteng ketika mereka sedang berpergian, entah itu ke sebuah cafe, ataupun warkop. Dibaca? Oh, tentu saja! Mungkin hanya 2-3 lembar halaman. Lalu mengobrol dengan teman-temannya. Dan Saya yakin, ketika sampai rumah dan ingin melanjutkan membaca, mereka sudah lupa dengan isi bacaan yang sebelumnya. Lalu di ulang kembali. Dan begitu seterusnya. Atau mereka terlalu malas untuk mengetahui apa isi yang ingin disampaikan si penulis. Yang paling penting, ada bahan untuk feed instastory dan feed Instagram.

Bukan menghakimi, tapi apa esensi yang didapatkan dengan membawa buku bacaan ditempat umum? Ingin terlihat pintar atau bagaimana? Saya masih tidak mengerti.

Sepengetahuan dan sepengalaman Saya didalam membaca, apapun bacaannya. Saya harus bisa tenang dan berkonsentrasi penuh didalamnya, dengan tujuan supaya Saya dapat mengerti apa yang dimaksudkan oleh penulis. Lalu, apakah ditempat umum dengan tingkat kebisingan yang sangat tinggi dapat membuat mereka berkonsentrasi? Saya rasa tidak.

Saya beranggapan, beberapa tahun belakangan ini ada beberapa orang yang memang benar-benar suka dengan hal tersebut, lalu dicontoh oleh orang-orang yang hanya 'mengikuti' tren sesaat. Tak perlulah berdebat, ya? Sudah banyak contohnya, dan jika Saya tidak memberi contoh maka bodohlah Saya. Oke, Film Horror di Indonesia. Sempat hilang dari peredaran, dan tergantikan oleh film-film komedi. Lalu bangkit kembali karena "Pengabdi Setan". Lalu banyak Sutradara berlomba-lomba untuk membuat film dengan genre yang sama. Dengan harapan? Jelas, kesuksesan!

Sama halnya dengan apa yang sedang kita bahas. Mungkin apa yang sedang mereka lakukan sekarang adalah representasi dari keberhasilan novel-novel romansa yang beredar juga di Indonesia. Lalu di ikuti dengan harapan didalam kehidupan nyata cerita yang ditulis dapat direalisasikan.

Mungkin juga, banyak dari mereka berharap dengan menulis sastra dapat memikat wanita. Dan membuat mereka terlihat lebih pintar dan berpendidikan didalam segala hal. Padahal tidak, mereka tak lebih dari seorang anak kecil yang habis menonton film Ultraman, dan berharap di kehidupan nyata mereka dapat menemukan Ultraman. As Simple As That.

You Might Also Like

0 komentar