Karya

Sebuah Kertas Kehidupan "Biasa"

Sabtu, Desember 26, 2015

Cerpen Cinta
Img src: khazanah.republika.co.id

Drttt...drttt... Getaran yang berasal dari handphone tua yang memiliki layar retak berhasil mengagetkanku dari lamunan yang sedari tadi membuat aku terdiam mematung. Aku diam beberapa saat, hingga rasa penasaran muncul secara perlahan untuk sekedar melihat sebuah pesan yang sedari tadi meminta untuk dibaca.

From Ana: "Sorry, tidak denganku"

Sebuah kata yang mampu membuatku ingin menghentakkan kepala dimeja cafe ini berulang kali.

"Bodoh!" Aku berteriak, mengutuk diriku sendiri didepan banyak orang.

Tak lama berselang, aku semakin terlihat seperti orang idiot yang kehilangan arah. Seluruh pasang mata para pengunjung cafe melihatku dengan ekspresi muak. Mungkin mereka pikir, aku orang gila yang sedari tadi melamun, kemudian berteriak seperti sedang kesurupan.

Segera aku meninggalkan cafe keparat itu, beserta orang-orang didalamnya. Di titik ini, aku merasa hanya seorang diri. Aku muak! Lagi-lagi aku mengutuk diriku sendiri dengan sumpah serapah yang sedari tadi aku ucapkan dalam hati.

"Anjing!!, aku sangat bodoh!"

Mungkin dengan mengeluarkan makian ini, aku bisa membaik. Tapi, saat ini aku tidak bisa berpikir rasional, semuanya hitam. Sepanjang jalan, aku hanya mendengar suara lalu lalang kendaraan yang melaju dengan velositas tinggi. Ditambah klakson mobil yang sedari tadi selalu ingin berada didepan.

Aku hanya ingin cepat tiba dikamarku, aku masih belum puas mengeluarkan makian dan kutukan yang aku tujukan untuk diriku sendiri. "Kenapa aku sangat bodoh? Kenapa aku bisa berpikir seperti ini?" Kata-kata itulah yang sedari tadi aku pikirkan disepanjang jalan.

....

Jarum jam menunjuk ke angka 10.45, yang berarti aku sudah melamun hampir 5 jam lamanya. Melamunkan hal bodoh, dan mengingat semua kejadian dari titik awal. Titik awal kehancuran didiri sendiri. Seperti bom waktu, yang hanya menunggu menunjukkan angka 0.

....

Ketika aku mengingat semuanya... Aku mulai sadar, bahwa ini semua adalah salahku....

Satu tahun yang lalu, aku duduk disudut ruang tunggu sebuah rumah sakit swasta dikotaku. Menunggu namaku dipanggil oleh Dokter yang sedari tadi sibuk memerika pasien-pasien lain didalam ruangan berdiameter 4x3. Aku menyibukkan diri untuk menghilangkan kebosanan dengan bernyanyi pelan, hampir tak terdengar oleh telingaku sendiri.

"Hendro Dirgantara"

Akhirnya terdengar seorang wanita memanggil kuat namaku. Entah berasal darimana, tetapi aku dapat mendengarnya dengan jelas. Merdu, sangat merdu.

Aku melangkah pelan, menyusuri lorong rumah sakit untuk bertemu dengan dokter. Aku sedang sakit, tiga hari ini badanku terasa dingin, setiap pagi aku selalu bergetar kedinginan dan kepalaku selalu terasa berat.

Setibanya diruangan dokter, aku tidak melihat siapapun didalamnya. Sunyi, hanya terdengar suara air dari kamar mandi yang menetes sesekali. Aku duduk, dan lagi-lagi aku harus menunggu. Aku tidak suka menunggu, aku benci menunggu, karena ini adalah kegiatan yang menurutku sangat tidak berguna!

Sepuluh menit berlalu, tidak seorangpun masuk kedalam ruangan tersebut. Bosan menghampiri, dan ketika aku berniat keluar, ada seorang wanita yang tiba-tiba masuk kedalam dan berkata "Maaf, Dokter sedang menerima telfon dari Rumah Sakit lain. Mohon ditunggu sebentar".

Aku mengingat-ingat suara yang barusan aku dengar. Ya, dia adalah wanita yang memanggil namaku dengan suara merdunya. Lebih dekat aku mendengar suaranya, kali ini semakin merdu.

Cantik, sangat cantik. Itulah kesan pertama yang aku dapatkan dari wanita ini. Sedikit terlintas, aku pernah melihatnya. Tapi, aku tidak tahu pasti dimana dan kapan aku melihatnya.

....

Entah kenapa, aku mulai tidak nyaman dengan perasaanku. Aku semakin penasaran dengan wanita tersebut, aku ingin mengetahui lebih jauh lagi, siapa wanita itu sebenarnya. Kenapa tiba-tiba otakku dipenuhi oleh wajah wanita bersuara merdu tersebut.

....

Seminggu berlalu, dan seminggu ini aku habiskan dengan memikirkan wanita bersuara merdu yang aku temui dirumah sakit. Apakah aku bodoh? Mungkin. Dan mungkin inilah yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama.

....

Minggu 11.00

Hari ini aku duduk menyelesaikan desainku disebuah cafe yang terletak tidak jauh dari indekostku. Ya, aku adalah seorang karyawan yang bekerja diperusahaan swasta sebagai seorang desainer grafis. Aku juga sering bekerja freelancer, sebagai seorang yang mendokumentasikan sesuatu berbentuk film.
....

Aku hanya seorang babu perusahaan yang tinggal dikamar berukuran 3x3, yang sudah dua tahun ini tidak pernah aku bersihkan. Busuk, itu adalah kesan yang orang lain dapatkan ketika berkunjung kekamarku. Tapi untukku, kamar ini adalah hasil dari semua kerja kerasku. Aku mencium apa yang orang lain cium, tetapi akan berbeda wanginya jika masuk ke rongga hidungku. Aku sudah terbiasa, aku senang dengan bau kamarku.

....

Beberapa jam kemudian, aku mulai bosan dengan apa yang sedang aku kerjakan. Aku mengamati sekitar ruangan cafe, mencari hal-hal lucu yang biasanya akan aku tertawakan didalam hati. Ya, aku adalah orang yang suka mengolok keburukan orang lain, padahal aku sendiri mungkin lebih buruk dari mereka.

Pandanganku terhenti, ketika aku menemukan seorang wanita yang sedang duduk persis didepanku. Hanya berjarak dua meja dari tempat aku duduk. Sedang tersenyum melihat layar handphonenya. Lagi-lagi, aku merasa bahwa aku pernah melihat wanita ini.

Ya! Aku ingat! Dia adalah wanita bersuara merdu yang seminggu lalu aku melihatnya tiba-tiba masuk kedalam ruangan periksa, memakai baju putih, memberitahukan bahwa dokter yang akan memeriksaku sedang menerima telfon dari rumah sakit lain.

Seketika, aku merasa gembira. Entahlah, aku tidak tahu apa yang mendasari kegembiraan ini. Gembira, seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan kesukaannya.

Rasa penasaran mengalahkan rasa maluku. Aku mendatangi wanita tersebut, dan duduk dikursi depannya. Memandang penuh rasa penasaran, kemudian membuka pembicaraan "Hey, bukankah kau wanita yang aku temui dirumah sakit, seminggu yang lalu?" Aku sudah tidak perduli, apa yang akan dilakukan wanita ini. Apakah dia akan pergi, atau apakah dia mengira aku seorang penjahat yang memata-matainya. Atau aku dianggap seorang psycho, karena tiba-tiba datang dan bertanya pertanyaan yang mungkin dia sendiri tidak tahu mengenai apa yang aku tanyakan.

"Ya, aku mengingatmu"

Suara merdu wanita itu kembali aku dengar. Entah kenapa, kali ini suaranya semakin lembut, merdu dan sangat-sangat merdu.

"Apa kau benar-benar mengenaliku?" Wanita itu melanjutkan perkataannya.

"Ya, tentu saja. Kau adalah wanita dengan pakaian putih, yang tiba-tiba datang dan memberitahukan jika dokter yang akan memeriksaku sedang menerima telfon dari rumah sakit lain" Jawabku tegang.

"Selain itu?" Tambah wanita cantik yang sedari tadi memandangiku dengan ekspresi yang sulit aku tebak.

"Mungkin hanya itu. Tetapi, dilain waktu aku juga pernah melihatmu... Entah kapan, tapi aku merasa pernah melihatmu." Lagi-lagi aku menjawab, tetapi kali ini keteganganku mulai menghilang.

"Mungkin..." Wanita itu hanya menjawab satu kata. Kemudian diam...
"Kau benar, kau pernah melihatku dilain waktu" Dia melanjutkan perkataannya.

Aku terkejut, dan rasa penasaranku semakin besar. Aku berkeringat. Menunggu perkataan selanjutnya, yang akan keluar dari wanita bersuara merdu itu.

Beberapa menit berlalu, wanita itu hanya diam sambil memandangi layar handphonenya, sambil mengetik-ngetik sesuatu yang aku sendiri pun tidak tahu isinya. Rasa penasaranku lambat laun hilang. Aku pikir, mungkin dia hanya bercanda. Menganggapku orang asing, yang tiba-tiba melontarkan pertanyaan bodoh. Jelas bodoh, tentu saja dia tidak mengingatku. Aku hanya pasien biasa yang memeriksakan diri ke dokter. Banyak pasien sepertiku yang seminggu lalu juga bertemu dengannya.

Ketika aku ingin memalingkan badan dan kembali ke kursiku, dia mulai melanjutkan perkataannya. "Hey, kau benar-benar tidak mengingatku?" Dia kembali menanyakan pertanyaan yang membuat aku semakin bingung.

"Tidak" Jawabku sekenanya.

"Kau sombong haha," Kembali wanita itu membuat aku berpikir.
"Ingat Randy? Tiga tahun yang lalu aku adalah pacarnya". Dan kau teman Randy bukan? Haha" Wanita itu tertawa terbahak-bahak. Seakan-akan aku adalah bahan lelucon.

"Hah?! Apakah kau Ana?" Tanyaku terkejut.

"Ya, aku Ana. Hahahaha" Kali ini tawanya makin besar, hingga seisi cafe mendengar tawanya.

"Wow, kau tampak berbeda Ana. Dimana kacamatamu? Dan kau sekarang mengenakan kawat gigi" Tanyaku keheranan.

"Hahaha, kau masih saja lucu. Aku pikir kau pura-pura tidak mengenaliku. Aku sudah tidak mengenakan kacamata. Aku sekarang menggunakan softlens, lebih praktis. Dan kawat gigi, aku ingin meratakan gigiku. Kau tahu sendiri, dulu gigiku sedikit tidak rata haha". Jawabnya, masih diselipi dengan tertawa.

Aku mengingat-ingat memori usang tiga tahun yang lalu. Ternyata ada Ana dimemori tersebut. Seorang wanita kurus dengan perawakan tinggi, yang berpacaran dengan temanku ketika kami SMA.

Tetapi, sekarang dia begitu berbeda. Berubah 180 derajat. Aku saja tidak mengenalinya. Dia sekarang mengenakan kawat gigi, katanya untuk meratakan giginya. Atau mungkin untuk menjaga giginya agar tidak lepas, pikirku. Kulitnya semakin putih, meskipun sejak dulu dia sudah memiliki kulit putih. Sedikit berisi, tidak kurus seperti tiga tahun lalu. Kacamatanya pun sudah tidak dikenakannya, dia sekarang menggunakan softlens. Pantas saja matanya berwarna kecoklatan.

....

17.00

Tidak terasa sudah sekitar dua jam kami berdua mengobrol, membicarakan kenangan semasa SMA. Sedikit yang bisa disimpulkan dari ceritanya, setelah lulus SMA ternyata Ana melanjutkan kuliahnya disalah satu perguruan tinggi Jakarta. Mengambil jurusan Keperawatan gigi. Setelah lulus, dia kembali kekota ini dan mencari pekerjaan. Dan satu tahun yang lalu, Ana resmi bekerja menjadi Asisten Dokter. Katanya, hanya ingin mencari pengalaman. Kemudian membuka prakteknya sendiri.

Ya, aku tidak mengira. Keputusanku memeriksakan diri dirumah sakit ternyata berujung baik. Padahal sedari dulu, aku paling anti untuk datang kerumah sakit. Aku tidak ingin sakit, dan aku benci rumah sakit!

....

Setelah kejadian itu, aku dan Ana sering bertemu hanya untuk sekedar mengobrol ringan ataupun dia meminta bantuanku untuk mendesain sesuatu. Karena diawal pertemuan aku sempat menceritakan bahwa aku bekerja sebagai seorang desainer grafis kepada dia.

Seandainya dia tahu. Tiga tahun yang lalu, ketika pertama kali aku melihat dia berlari karena terlambat dihari senin saat mengikuti upacara bendera, aku sudah suka kepadanya. Sayangnya, ketika dulu aku ingin mengenalnya, aku mengetahui kabar jika Randy temanku adalah pacarnya.

Sangat disayangkan. Randy adalah pria tampan, idola semua wanita disekolah. Tinggi, putih, dan mungkin semua kelebihan ada pada temanku ini. Aku kalah telak, aku hanya seorang pecundang yang cuma membayangkan menjadi seperti Randy.

Aku selalu berpikir, tidak mungkin orang sepertiku bisa memiliki wanita cantik seperti Ana. Sementara selera Ana, pasti sekelas pria seperti Randy. Sedangkan aku? Tidak akan dipikirkan sama sekali! Ya, aku tidak memiliki rupa yang di impikan seorang wanita. Pendek, hitam, dekil, gaya kampungan, dan tidak berbakat. Aku juga bukan berasal dari keluarga kaya, aku hanya seorang anak dari petani kampung. Ya, aku adalah pecundang!

....

Minggu, Pertengahan November 2012

Hari ini, aku diminta Ana untuk datang ke cafe biasa. Cafe dimana aku menyadari, bahwa wanita cantik bersuara merdu itu adalah Ana, teman semasa SMAku. Ana memintaku untuk datang jam delapan pagi.

Keparat! Hari minggu yang biasa aku gunakan untuk bangun siang, karena terbebas dari pekerjaanku sebagai babu perusahaan, dirusak oleh seorang Ana. Anehnya, aku tidak keberatan. Dan aku merasa senang.

Jam menunjukkan pukul tujuh. Aku segera bergegas mandi dan berangkat. Sekitar jam delapan, aku sampai dicafe yang sudah tidak asing lagi bagiku. Tepat didepan pintu masuk, aku melihat Ana sudah duduk, mengenakan pakaian rapi. Dan selalu terlihat cantik. Mungkin, setiap hari Ana semakin cantik. Itu adalah pikiranku.

"Sial!!" Aku bergumam, karena aku datang terlambat. Ya, aku tidak suka terlambat. Apalagi jika bertemu dengan Ana, aku tidak ingin melewatkan satu menitpun kebersamaanku dengan Ana. Semua ini gara-gara jalanan yang macet! Metromini yang aku tumpangi jadi sering terhenti, keparat!! Aku terus bergumam sembari berjalan kearah Ana.

"Hey, sudah lama?" Aku membuka pembicaraan, sambil mengeluarkan laptop dari tas kusam kepunyaanku.

"Tidak, baru beberapa menit. Pesananku juga belum datang" Jawabnya dengan suara merdu.

Tak henti-hentinya aku mengatakan bahwa Ana memiliki suara merdu dan wajah yang cantik. Ya, menurutku dia adalah wanita sempurna, sangat-sangat sempurna. Jika dibandingkan dengan aku, aku lebih terlihat seperti supirnya, atau bahkan pembantunya.

"Maaf tadi macet, ada apa kau menyuruhku kesini?" Aku bertanya sambil melihat-lihat menu, memikirkan apa yang akan aku pesan. Meskipun aku sedang tidak punya uang, aku rela datang ke cafe mahal ini demi bertemu dengan Ana.

"Anak dokter dirumah sakitku dua hari lagi akan merayakan ulang tahunnya. Lalu dokter itu menyuruhku untuk mendesain undangan ulang tahun untuk anaknya. Apakah kau bisa membantuku?" Pintanya, kali ini tidak perlu lagi dijelaskan mengenai suaranya. Tetap lembut, dan merdu.

"Itu hal yang sangat mudah bagiku, akan aku kerjakan sekarang" Jawabku antusias. Apapun yang Ana minta, aku akan coba mengabulkannya. Seperti jin botol, tapi aku seorang manusia.

Dibeberapa kesempatan disela-sela pekerjaanku mendesain undangan permintaan Ana, aku selalu mencuri-curi pandangan, melihat wajah Ana yang sangat cantik. Kadang aku terlena, hingga lupa dengan pekerjaanku. Aku selalu suka, ketika dia bertanya mengenai caraku bekerja, dan bagaimana cara mendesain sesuatu agar terlihat lebih menarik.

....

12.45

Aku menyelesaikan desain yang diminta Ana. Sedikit lama, karena terkadang aku diganggu oleh Ana.

Biasanya, aku akan marah jika aku diganggu ketika sedang bekerja. Tetapi, lain halnya dengan Ana. Aku tidak bisa marah kepada Ana. Malah, aku sangat suka ketika dia mengganggu dan membuatku harus mengulang desain dari awal.

Difase ini, aku semakin gila. Rasa suka tiga tahun lalu terus ada, dan dari pertemuan lalu, rasa suka kepada Ana semakin besar.

Kadang aku berpikir, apakah ini semua rencana Tuhan? Menemukanku dengan Ana, yang dari tiga tahun lalu aku sudah tidak pernah lagi bertemu dengannya. Jika ini rencana Tuhan, apakah akan indah untuk diriku? Tetapi, dengan segera aku menghilangkan pikiran ini. Aku hanya ingin memikirkan Ana, Ana, dan Ana.

....

Intensitas pertemuanku dengan Ana semakin tinggi. Aku yang biasanya tidak semangat untuk menjalani hari kerjaku, kini menjadi lebih bersemangat. Aku yang tidak pernah membersihkan kamar indekostku, sekarang setidaknya dua minggu sekali selalu aku bersihkan. Kini bau busuk yang menemani hari-hariku selama dua tahun belakangan sudah hilang, tergantikan dengan pewangi ruangan, wangi yang dicampur dengan cinta.

Ana semakin sering datang ke indekostku hanya untuk menumpang makan siang, ataupun jika dia sedang suntuk dirumah. Aku selalu senang jika Ana datang. Dan akan selalu senang.

....

Rabu, Akhir Maret 2013

Seiring berjalannya waktu, hubunganku dengan Ana semakin lama semakin dekat. Aku merasa, bahwa Ana memiliki rasa kepadaku. Bukan terlalu percaya diri, tetapi dari perlakuannya beberapa bulan belakangan ini, dia sering menunjukkan perhatiannya kepadaku.

Ketika aku sakit dan tidak bisa bekerja, dia datang ke indekostku untuk sekedar membelikan aku obat dan membelikan aku makan. Ataupun ketika aku mengajak dia untuk menonton salah satu film dibioskop, dia tidak pernah menolak. Meskipun beberapa kali aku sempat melihat dia berbicara melalui telfon dengan seseorang.

Tetapi aku yakin. Dan kali ini, aku tidak ingin menjadi seorang pecundang, lagi. Aku harus berani mengungkapkan perasaanku sejak tiga tahun yang lalu, ketika pertama melihat dia. Aku tidak ingin tertinggal dibelakang lagi. Dan aku harus menerima semua resiko yang terjadi selanjutnya.

Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Sejak seminggu yang lalu, aku sudah mempersiapkan rencana untuk memberikannya kejutan. Aku memilih memberikannya kejutan dicafe tempat pertama kami bertemu. Ya, cafe dipinggiran jalan dekat indekostku.

Aku mempersiapkan semuanya dengan matang. Dan dengan mudah aku mendapatkan izin dari supervisor cafe tersebut, mungkin karena aku sering berada disana.

Tidak mewah, dan tidak mahal. Hanya sebuah meja yang dilengkapi dengan lilin, dan band akustik yang nantinya akan menyanyikan lagu sesuai dengan permintaanku. Aku ingin membuat candle light dinner sederhana dengan Ana. Aku pikir, Ana suka dengan kesederhanaan.

18.30

Aku berdandan rapi, layaknya seorang pria tampan. Aku sudah menyiapkan parfum kesukaan Ana, untuk aku pakai malam ini. Rambut yang sudah lama tidak aku sisirpun malam ini akan aku sisir serapi mungkin. Aku sudah siap. Karena malam ini adalah malam spesial, aku tidak ingin terlambat. Aku meminjam motor teman indekostku, yang kebetulan tidak dia pakai.

....

"Ana, bisa kau datang ke cafe biasa? Ada hal penting yang ingin aku katakan" Jari-jariku mengetikkan pesan singkat melalui handphone tuaku.

Hingga setengah jam, Ana masih belum membalas pesan yang aku kirimkan. Aku mencoba mengirimkannya lagi, tetapi hasilnya masih sama. Tidak ada balasan yang muncul dihandphoneku.

Kali ini, aku masih berpikir bahwa Ana sedang sibuk, ataupun ketiduran karena seharian sudah lelah bekerja.

Hingga jam menunjukkan pukul 20.00 Ana masih tidak membalas pesanku. Sementara orang-orang mulai berdatangan dan memenuhi cafe tempat aku berada. Aku cemas, tetapi aku masih bisa mengontrol emosiku.

Kali ini, jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Aku sudah tidak sabar menunggu. Aku pulang dengan perasaan kecewa, tetapi aku terus berpikir bahwa Ana sedang memiliki pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, ataupun tertidur karena lelah.

Aku membuka pintu indekostku, pulang dengan perasaan campur aduk. Bingung, atau frustasi, akupun tidak tahu.

Tak berselang lama, aku tertidur....

....

Keesokan paginya aku bangun, bersiap-siap dan bergegas pergi kerumah Ana. Kali ini aku menggunakan metromini, menyebabkan aku harus mengikuti kegiatan "macet" yang sudah menjadi tradisi dikota ini.

Setibanya dirumah Ana, aku tidak mendapati Ana ada disana. Aku pikir, mungkin dia sedang pergi.

Lalu aku memutuskan untuk pergi. Kali ini aku pergi kesebuah cafe kecil, tidak begitu mahal, dan sangat cocok untuk tidak menguras isi dompetku.

Cafe ini berseberangan dengan cafe paling mahal dikota ini. Cafe Letra, itu adalah nama cafe tersebut. Cafe tempat orang-orang kaya menghabiskan uangnya, cafe tempat anak muda yang memiliki kebiasaan dan sifat hedonism berkumpul, dan cafe tempat dimana para pengusaha bertemu.

Dari sini, terlihat sebuah mobil mewah dan mahal berhenti didepan cafe tersebut. Aku berpikir, yang ada didalam mobil tersebut pastilah orang kaya. Sangat kaya, hingga kendaraannya pun harus memiliki harga yang mahal.

Tiba-tiba... Aku terkejut... Ketika yang keluar dari mobil itu adalah seorang pria tampan, berperawakan tinggi, putih, dan memakai setelan khas orang kaya, bersama seorang wanita yang sangat-sangat aku kenali. Ya, pria itu bersama Ana.

Terlihat mereka berdua sangat akrab, bergandengan tangan hingga memasuki cafe tersebut.

Aku sangat terkejut. Seketika tubuhku menjadi beku, aku sulit bernafas dan emosiku sebentar lagi naik. Aku harus pergi dari cafe ini. Tapi aku tidak bisa pulang ke indekostku, karena semakin aku sendiri, semakin pula aku banyak memikirkan suatu hal.

Aku lebih memilih pergi ke cafe biasa, cafe dimana aku dan Ana sering menghabiskan waktu.

Cafe ini terlihat ramai, entahlah mungkin karena hari ini adalah hari libur. Aku duduk persis ditempat aku duduk tadi malam. Aku memandangi sekitar, sambil mengajukan banyak pertanyaan didalam hati. Mungkin pertanyaannya terlalu retoris, tetapi aku tetap bertanya.

Aku beranikan diri untuk mengetikkan pesan singkat untuk Ana.

"Ana, kau dimana? Kenapa tadi malam kau tidak membalas pesanku?" Jari-jariku serasa berat untuk mengetikkan pesan singkat ini.

Lagi-lagi, aku harus menunggu lama untuk mendapatkan jawaban pesan dari Ana.

Aku memesan kopi kepada pelayan cafe ini, tidak perlu berkata, karena pelayan cafe ini sudah mengenalku dan menghafal kopi pesananku. Ya, kopi hitam dengan dua sendok gula.

Dua jam berlalu, handphone tuaku bergetar dan kali ini tertulis nama "Ana" dilayar depan. Aku segera membuka pesan yang Ana kirimkan, lalu membacanya.

"Dirumah, aku baru saja pulang dari Letra. Dengan kekasihku" Begitulah balasan yang tertulis dilayar handphoneku.

Degg.. seketika darah disekujur tubuhku seperti naik keatas kepala. Aku ingin berteriak, tetapi aku sadar aku berada dikerumunan orang banyak.

Batinku berperang hebat, seperti pertempuran yang tidak pernah bisa dipadamkan. Tetapi aku masih memberanikan diri untuk membalas pesan Ana.

"Kau tahu, sejak tiga tahun yang lalu, dihari senin, ketika aku melihatmu berlari terengah karena terlambat, aku sudah menyukaimu. Kau layaknya wanita paling sempurna dimataku. Ketika ingin berkenalan, aku mendapat kabar bahwa kau adalah pacar temanku. Aku kalah sebelum berperang, aku adalah seorang pecundang. Ya, seperti seorang budak yang menyukai ratunya. Berharap strata sosial tidak berpengaruh penting bagi kehidupan.

Tapi, kali ini aku tidak ingin menjadi seorang pecundang. Aku ingin mengatakan, aku suka kamu Ana. Dan mungkin, aku mencintai kamu. Ya, aku tahu jika dibandingkan dengan pacarmu, aku hanya seperti setitik kotoran disepatu mahalnya. Aku, hanya ingin mengungkapkan, karena aku takut aku tidak mempunyai waktu lagi untuk mengatakan."

Aku mengirim pesan itu dengan jari-jari yang sudah lemah. Aku tidak mempunyai harapan lagi, seperti kembali ke beberapa bulan yang lalu, ketika aku belum memeriksakan diriku ke dokter. Ketika aku belum mendengar suara merdu dari seorang wanita, ketika aku belum melihat wajah cantik seorang wanita, dan ketika aku belum mengetahui bahwa wanita cantik yang ada diotakku adalah temanku tiga tahun yang lalu.

Aku melamun, ditengah kesedihanku.

Drtt... Drtt... getaran dari handphone tuaku mengagetkan lamunanku, sebenarnya aku tidak ingin membuka pesan itu, tetapi rasa penasaran mengalahkan rasa takutku. Dan ketika aku membukanya, aku membaca,

From Ana: "Sorry, tidak denganku"

Sebuah kata yang mampu membuatku ingin menghentakkan kepala dimeja cafe ini berulang kali.

"Bodoh!" Aku berteriak, mengutuk diriku sendiri didepan banyak orang.

Tak lama berselang, aku semakin terlihat seperti orang idiot yang kehilangan arah. Seluruh pasang mata para pengunjung cafe melihatku dengan ekspresi muak. Mungkin mereka pikir, aku orang gila yang sedari tadi melamun, kemudian berteriak seperti sedang kesurupan.

Aku berteriak, "Cafe Keparat!", ya karena cafe ini adalah tempat dimana aku mengetahui bahwa wanita bersuara merdu yang aku pikirkan selama satu minggu adalah Ana, teman semasa SMAku.

....

Didalam indekost, aku merenungi apa yang terjadi, sembari terus mengutuk diriku sendiri dengan sumpah serapah yang sedari tadi aku lontarkan.

Aku berpikir, dan terus berpikir.

Ketika aku mengingat semuanya... Aku mulai sadar, bahwa ini semua adalah salahku....

Semua pemikiranku selama ini ternyata salah. Ya, seorang wanita cantik tidak akan mungkin menyukaiku, seorang biasa. Pria miskin yang kekurangan uang, tinggal di indekost berukuran 3x3 dan setiap hari hanya pergi menggunakan metromini.

Aku terlalu berharap. Lagi-lagi, berharap bahwa strata sosial tidak berpengaruh. Kenyataannya, didunia ini tidak seperti yang kita harapkan. Seseorang yang memiliki rasa cinta dan sayang yang besar, akan kalah dengan seseorang yang memiliki mobil mewah, lengkap dengan pakaian khas orang kayanya.

Seorang biasa, tidak akan bisa bersama dengan orang luar biasa.

Dan sekarang, aku menyadari. Bahwa...

Seorang wanita sempurna, tidak akan bisa tertulis disebuah kertas kehidupan orang biasa. Menuliskannya saja butuh keberanian yang besar, dan harus bersiap untuk kecewa, karena lembar yang sudah tertulis akan robek dengan sendirinya.

Ya, aku tidak bisa melanjutkan untuk menulis namamu hingga sampai pada lembar kertas akhir buku kehidupanku. Karena namamu akan tergantikan dengan nama wanita lain, yang lebih sempurna darimu, lebih tulus darimu, dan lebih memiliki perasaan daripada dirimu. Dan tentu saja, wanita itu akan mencintaiku karena kekuranganku, bukan kelebihanku :)


-Gipsy Marpaung
.................................................................................................................................................................

Cerita ini murni karya Gipsy Marpaung. Bagi siapapun yang ingin menulis ulang cerita ini, mohon untuk mencantumkan nama.

Gue terinspirasi membuat cerita ini karena keresahan gue yang lagi ditinggal temen kontrakan liburan. Dan mungkin, ada sedikit pengalaman gue pribadi haha.

Bagus atau tidaknya, semua tergantung dari pembaca. Gue pemula, yang baru belajar merangkai kata demi kata. asek.
Read More »

featured

Short Story (Real Story) - This is My Mistake

Jumat, Juli 03, 2015



Aku adalah seorang anak laki-laki, tepatnya anak laki-laki yang sangat malas. Kehidupan ku hanya di isi dengan kemalasan yang tentunya akan merugikan diriku sendiri, dan berdampak buruk untuk masa depanku kelak. Aku hanya seorang anak laki-laki yang masih belum mengerti, tentang arti kehidupan yang sebenarnya.

Orang tua ku selalu menasehati tentang kebenaran, dan aku selalu mendengarkan. Aku selalu meresapi hingga kedalam, semua perkataan yang sudah diucapkan oleh orang tuaku. Tetapi, semua perkataan itu selalu sirna, hanya terngiang sebentar saja memutari kepalaku.

Apa aku terbuat dari besi? Apakah otak ku ini sudah mengeras seperti batu? Aku tak tahu harus menjawab apa dari semua pertanyaan bodoh yang aku sendiri belum tahu arti pertanyaan itu.

Aku terus menerus sudah merasa berusaha, untuk pendidikanku. Kenyataannya, aku hanyalah seorang pemalas yang selalu menunda-nunda pekerjaan yang ditimpalkan kepadaku. Aku hanyalah seorang anak bodoh, dan itu ada dipikiran setiap orang yang memandangku.

Apakah aku memang ditakdirkan untuk menjadi orang yang gagal? Membanggakan kedua orang tua yang telah susah payah membesarkan aku pun sangat sulit. Apa aku memang diciptakan hanya untuk menjadi bahan olokan orang lain yang memandangku?

Aku sendiri belum mengetahui apa kelebihanku, walau aku sudah tau apa kekuranganku selama ini. Meskipun begitu, aku tetap saja tidak mau mengoreksi kekuranganku. Aku tidak mau mengubah kekuranganku dan kebiasaan malasku menjadi lebih berguna.

Apa memang aku yang sengaja ingin seperti ini? Atau ini memang sudah jalan takdirku?

Bukan, ini bukan takdirku. Tuhan menciptakan aku karena Dia memiliki rencana yang besar untukku suatu hari nanti. Hanya, aku saja yang tidak siap menerima rencana Tuhan yang sangat indah. Kemalasanku berakibat fatal untuk diriku sendiri.

Aku selalu berteman, dan mengikuti orang yang lebih malas dari diriku. Aku malu memiliki teman yang pintar, dan rajin. Apa aku yang terlalu bodoh untuk memutuskan semuanya? Apa aku terlalu gengsi untuk berteman dengan mereka yang menggunakan kacamata?

Mereka memang tidak seperti pemuda lainnya. Mereka giat belajar, dan mereka serius akan pendidikan yang sedang ditempuh, terlebih mereka ingin membahagiakan orang tuanya. Tetapi, aku masih selalu tersangkut dipaku yang sama. Aku bagaikan sebuah batu besar ditengah sungai berarus deras. Batu besar yang tidak pernah bergerak meskipun arus sungai itu sangat kencang.

Tuhan, apakah engkau masih memberikan aku kesempatan untuk merubah semuanya? Apakah engkau masih percaya akan janjiku yang telah aku ingkari berulang-ulang kali? Tuhan, aku sangat ingin mengulang semuanya dari awal. Aku ingin memperbaiki semuanya, untukku dan masa depanku.

Tuhan, aku hanya ingin melihat senyum bahagia dari kedua orang tuaku :)
Read More »

Short Story

Short Story: Hari Bahagia Dimasa Tuaku

Jumat, Juni 19, 2015

Semua cerita ataupun artikel di gipsymarpaung.com berasal dari pemikiran sendiri karena ini hobby gue, gue suka banget nulis tulisan yang gak penting. Untuk short story, semoga bahasanya mudah dipahami, gue juga kurang ngerti dengan kata-kata para pujangga yang memang layak disebut pujangga. Disini gue cuma mencoba, dan belajar. So, let's begin!
Short Story - Hari Bahagia Dimasa Tuaku Oleh Gipsy Marpaung

....

Aku hanyalah orang tua biasa, yang mempunyai harapan sama dengan orang tua lainnya. Aku ingin melihat anak-anakku mempunyai harapan yang lebih tinggi dari kedua orang tuanya, aku ingin melihat anak-anakku bisa lebih dari aku, dan istriku.

Aku hanya pensiunan sebuah perusahaan sawit didaerahku. Aku tinggal disebuah pedesaan yang sangat jauh dari jangkauan perkotaan, dan sangat jauh dari yang namanya modern. Tetapi, aku tidak ingin anak-anakku merasakan hal yang sama dengan apa yang aku rasakan selama ini.

Aku tidak butuh kemewahan, dan aku tidak memerlukan fasilitas indah yang orang kota bisa dapatkan dengan mudah. Aku hanya ingin satu hal, kehidupanku dimasa tua akan indah.

....

Aku mempunyai tiga orang anak yang sangat luar biasa. Mereka adalah hal terindah yang aku punya, tidak lupa juga dengan istriku.

Beruntungnya aku, memiliki istri yang bisa aku bilang sangat sempurna. Aku yang hanya lelaki perantauan, yang mencoba merubah nasib dan takdir hidupku.

Beruntungnya aku, memiliki pekerjaan yang terbilang cukup layak untuk membangun sebuah keluarga kecil yang bahagia. Meskipun aku harus tinggal diantara hutan belantara, dan hanya ada suara jangkrik yang menemaniku disetiap malam ketika aku baru mendapatkan sebuah pekerjaan.

....

Jauh sebelum itu....

Aku sudah banyak mencoba berbagai macam pekerjaan, sembari berharap bisa hidup berkecukupan dimasa depanku. Aku pernah menjadi kuli panggul disuatu pasar dipedalaman selama 2 tahun, dan hanya dibayar 50 perak untuk hasil kerja kerasku selama 1 hari. Ketika itu, aku belum memiliki tempat tinggal. Nasib baik, penduduk sekitar mengizinkan aku untuk tinggal disebuah mushola kecil dipinggiran sungai.

Meskipun aku pemeluk agama lain, mereka tetap menghormatiku dan mereka tidak menganggapku berbeda. Begitu pula sebaliknya.

Aku sadar, pekerjaan seperti ini tidak akan bisa menghidupiku kelak jika aku sudah berkeluarga. Dan aku memutuskan untuk pergi ke luar negeri demi mendapatkan apa yang aku impikan selama ini.

Mungkin memang benar, takdirku sudah digariskan sejak aku lahir. Aku gagal untuk pergi keluar negeri dan hal ini yang membawaku ke kehidupanku yang sekarang. Dan, aku sangat mensyukuri itu.

....

Akhirnya, aku bekerja disebuah perusahaan sawit didaerah pedalaman. Dan disanalah aku menemukan cinta sejatiku, hingga saat ini dia masih jadi cinta sejatiku dan yang selalu setia menemani masa-masa tuaku, masa tua kita bersama.

Pertemuanku dengannya begitu lucu. Dimasa mudaku, aku hanya seorang pemain wanita dan tidak pernah bisa dengan sungguh-sungguh mencintai seorang wanita. Sudah sering aku berganti pasangan dengan banyak wanita, karena menurutku mereka semua sangat mudah untuk didapatkan.

Hingga suatu ketika aku bertemu dengan istriku. Dia sangat sulit untuk aku dapatkan, dia begitu menawan dan tidak murahan seperti wanita-wanita lain yang pernah aku pacari. Hal itu yang mendasariku untuk terus mengejarnya. Meskipun aku menyadari, bahwa kami tidak sama. Kami memiliki keyakinan yang berbeda, dan orang tuanya tidak pernah menyetujui bila aku ingin hidup bersama anaknya itu.

Keyakinanku tidak goyah, aku tetap berusaha. Hingga akhirnya, dia seutuhnya menjadi milikku....

....

Aku hidup bahagia dengan istriku, apalagi ketika anak pertamaku lahir. Seorang bayi wanita yang mungil nan menggemaskan. Aku tak percaya, kehidupanku menjadi indah seperti ini.

Akhirnya, kami memutuskan untuk memberi nama dia "Eka". Yang artinya adalah pertama.

Kami menjadi keluarga kecil bahagia... Eka tumbuh menjadi wanita cantik dan berbakti kepada orang tua. Empat tahun berselang, kami dikaruniai anak kedua. Lagi-lagi Tuhan memberikan aku seorang anak perempuan yang menggemaskan. Dan anak ini kami beri nama "Intan", yang artinya kami menginginkan anak yang cantik layaknya Intan atau permata.

Tidak terasa, kedua anakku mulai tumbuh besar. Begitu pula denganku, mulai bertambah usiaku dan mulai menua diriku. Empat tahun berselang setelah kelahiran Intan, kami dikaruniai anak ketiga dan kali ini Tuhan memberikan aku dan istriku seorang anak laki-laki tampan, sesuai dengan harapanku.

Bagiku, ini hidup yang sangat lengkap. Hingga aku mulai menyadari, ketiga anakku semakin dewasa dan aku juga semakin tua....

Mereka sudah mengerti arti cinta. Dan aku tahu, suatu saat nanti semua anak-anakku akan mempunyai kehidupan sendiri. Dengan kata lain, mereka harus hidup mandiri bersama keluarga barunya kelak.

....

Aku ingin ketiga anakku memiliki pendidikan yang tinggi. Aku tidak ingin mereka mengikuti jejakku, yang hanya tamatan SMA. Ditambah, aku tidak memiliki Ijazah SMA karena aku adalah seorang pemuda dari kalangan keluarga yang tidak mampu. Ijazah SMA pun tidak bisa aku ambil, karena kekurangan biaya.

Sejak SMP, mereka bertiga aku sekolahkan disebuah kota besar. Berharap mereka mendapatkan pendidikan yang layak dan lebih pintar dari aku, serta istriku.

....

Kini, mereka bertiga sudah jauh dari aku dan istriku. Mereka bertiga tinggal disebuah rumah yang memang sudah aku rencanakan dari awal. Kini aku dan istriku hanya tinggal berdua disebuah rumah, dipedesaan yang jauh dari kota, jauh dari anak-anakku.

Rasa rindu akan kehadiran anak-anakku dirumah yang selalu membuatku sedih, tidak terkecuali istriku. Terkadang, aku melihatnya menangis disetiap tidurnya. Aku tahu, berat rasanya setiap hari memikirkan keadaan anak-anakku yang jauh dari orang tuanya.

Apakah mereka disana mendapatkan kasih sayang?
Apakah mereka disana juga memikirkan aku dan istriku?

Aku selalu mencari jawaban atas semua pertanyaan yang aku lontarkan untuk diriku sendiri.

Meskipun anak-anakku selalu mengunjungi aku dan istriku disetiap 6 bulan sekali, saat mereka semua memiliki hari libur. Tetapi rasa rinduku tidak pernah bisa hilang, walau sedetik pun. Setiap bulan aku selalu berusaha mengunjungi anak-anakku diperantauan, hanya untuk menghilangkan rasa rindu kepada ketiga anakku.

Mereka telah bertumbuh besar....

Meskipun mereka sering membantah apa yang aku katakan, dan mereka bertiga selalu mencari celah kesalahanku, aku tetap mencintai mereka dan rasa sayangku tidak pernah berkurang dari saat mereka lahir hingga sekarang.

Aku sadar, mereka memiliki jalan hidup sendiri.... Tetapi, aku sebagai orang tua akan selalu mengarahkan anak-anakku untuk terus berada dijalan yang benar. Aku tidak mau mereka salah menentukan arah hidup. Meskipun akhirnya perkataanku selalu ditolak.

Aku tetap sabar....

....

Bertahun-tahun kemudian, anak-anakku mulai lulus dari pendidikannya dan mulai memasuki ketahap berikutnya. Yaitu, pernikahan. Eka, anakku yang pertama memutuskan untuk menikah di usianya yang ke-23 tahun dengan seorang pemuda asal Nias.

Senang, bercampur sedih. Itulah yang aku dan istriku rasakan, ketika anak pertamaku dipinang oleh seorang lelaki. Yang tandanya, dia akan memiliki keluarga sendiri, dan sibuk dengan kehidupan barunya. Istriku sangat sulit untuk melepas anak pertamaku, dirinya begitu sedih. Meskipun kami berdua tahu, akhirnya pasti akan seperti itu.

....

Aku semakin tua... Masa kerjaku diperusahaan tempatku bekerja sudah berakhir. Aku diberi penghargaan dan uang pensiun yang lebih dari cukup. Semua uang pensiun dan hasil tabunganku dan istriku kami putuskan untuk membuat sebuah rumah didekat kebun sawit kepunyaanku sendiri. Rumah ini yang nantinya akan ditempati anak-anakku dan cucuku...

Aku sangat bahagia, dimasa tuaku melihat anak-anakku berhasil didalam karir dan pendidikannya. Aku termasuk orang tua yang sangat beruntung, memiliki anak-anak yang semangat bersekolah untuk menggapai cita-cita mereka.

Meskipun aku sudah tidak bekerja, tetapi aku masih bisa membiayai anak laki-laki satu-satunya untuk berkuliah dan melanjutkan pendidikannya dikota besar yang semakin jauh dari aku dan istriku. Aku masih bisa mengurus kebun yang dari dulu menjadi sumber penghasilan tambahan bagi keluargaku.

Aku juga selalu takut, tidak akan bisa membiayai anak laki-lakiku hingga akhir pendidikannya. Aku takut tidak bisa memenuhi kebutuhannya diperantauan. Dan aku tidak ingin menyusahkan anak-anakku. Aku tidak tega melihat mereka memiliki kehidupan yang susah, dan cukup aku saja yang merasakan susahnya kehidupan.

Kini...

Aku adalah orang tua yang paling bahagia...
Aku adalah orang tua yang sangat bahagia...

Tuhan memberikan aku kehidupan yang sangat luar biasa...
Tuhan memberikan aku pahit manisnya hidup yang membuat pengalamanku semakin bertambah. Dan bisa aku pergunakan untuk memberikan wejangan bagi kebaikan anak-anakku nantinya.

Aku percaya...

Anak-anakku tidak akan mengecewakan aku dan istriku.
- Gipsy Marpaung





......

Bapak. Aku janji, tidak akan mengecewakanmu. Aku akan berusaha untuk mewujudkan cita-citaku, cita-cita Bapak dan Ibu. Bapak dan Ibu adalah panutan untukku, dan kalian berdua adalah orang tua yang sangat hebat untuk aku dan kedua kakakku.

Aku hanya ingin melihat senyum bangga dari kalian dimasa tua kalian... Dan aku tidak ingin Bapak dan Ibu bekerja lagi untuk membahagiakanku. Sekarang, giliran aku yang bekerja keras untuk membahagiakan Bapak dan Ibu.

Karena, aku sangat sayang kalian.... :)
Read More »

Karya

Short Story: A Piece of Hope

Selasa, Juni 09, 2015


Malam ini bagaikan sebuah malam untuk menjawab sebuah pertanyaan yang selalu terngiang dibenakku. Aku duduk terdiam, merenungi dan mencoba mengingat sepenggal demi sepenggal cerita yang telah susah payah aku ciptakan untuk pertama kalinya.

Cukup 1 pertanyaan yang selalu membuat aku bingung sepanjang malamku, memuakkan, tetapi sedikit memberiku ruang untuk mencoba berpikir akan kesalahan yang telah aku lakukan dimasa lalu. Dimana setiap orang akan melalui masa itu.

Harapanku telah musnah, bertahun-tahun yang lalu sejak aku memutuskan untuk pergi jauh dan meninggalkan cerita-ceritaku selama ini. Pupus, itulah yang aku rasakan untuk setiap hari, dan setiap hari pula aku harus menghindar dari bayangan cerita indah yang telah aku hancurkan dengan mudahnya.

"Aku tau, apa yang aku lakukan selama ini adalah salah"

Pikiran ini yang setiap malam selalu menghantui aku dalam mimpi. Jujur, setiap malam aku selalu larut dalam keheningan... nyenyakku hilang bak ditelan dinginnya angin malam yang selalu menghantam tubuhku.

.....

Kembali ke masa-masa aku ingin menggapai mimpiku, dimana aku mempunyai mimpi indah yang ingin kugapai. Bukan hanya sendiri, tetapi dengan seseorang yang membantu aku untuk membuat sebuah cerita manis yang layak untuk diingat, meskipun sedikit pahit.

Melihat jauh kebelakang, tentang sebuah kebodohan seorang lelaki. Berharap memiliki impian yang indah, namun malah berbalik menjadi mimpi yang sangat buruk, sangat-sangat buruk. Hanya karena sesuatu kesalahan, hingga tak ada lagi harapan yang mampu mendekat.

....

Morning sunshine in our room
Now that room is back in tune
Autumn start this day with a smile
And laugh at my beautiful love one
Who's lying besides me

You so far away in your sleep
Who can tell what dream you may dream
You dont know that I was drawing
With my finger on your sweet young face
Figures and meaning words

You make my world so colorful
I've never had it so good
My love I thank you for all the love
You gave to me

Like a summer breeze so soft
Like a rose you bring me near
And I kiss your lips so sweet
Soft like the rain and gentle as
The morning dew in may

Though they said that I was wrong
But thank god my will so strong
I got you in the palm of my hand
Everyday they tried to put me on
But I laugh at those who tried to hurt our love

.....

Sebuah lagu yang selalu menemaniku, disetiap malam yang aku tahu pasti akan membuatku larut didalam kesedihan yang teramat dalam. Sebuah lagu yang juga mengingatkanku, akan masa dimana aku selalu bahagia, dan masa yang aku rasa adalah hadiah yang amat sangat terindah yang pernah Tuhan berikan didalam sebuah cerita yang sedikit berhasil aku ciptakan.

Meskipun aku tahu, harapan itu sudah tidak ada. Tetapi aku belum putus asa, aku masih terus berusaha mencari sedikit harapan yang mungkin akan membuat malam-malamku berikutnya kembali indah, atau mungkin menjadi lebih indah untuk melanjutkan cerita lama ataupun menghasilkan cerita baru.

Usahaku hampir sia-sia, harapanku hanya tersisa sedikit. Tetapi, apakah benar aku sudah berusaha selama ini? Atau mungkin semua usaha yang aku lakukan hanya sebuah khayalan fana yang malah membuatku selalu terjatuh didalam lembah yang sama?

Aku tidak pernah perduli. Apa, Kenapa, dan Bagaimana aku bisa merasakan hal ini, dan kenapa juga aku masih terus berusaha untuk menemukan sekeping harapan itu. Namun yang pasti, aku tidak akan pernah berhenti berusaha karena aku telah membuat sebuah janji, sebuah janji yang sudah tertuliskan pada sepenggal ceritaku dulu.

Akhirnya, ada waktu dimana aku sedikit menemukan sepotong harapan yang selama bertahun-tahun ini aku cari. Meskipun hanya sedikit, dan sedikit abu-abu, aku masih tetap percaya bahwa sepotong kecil harapan ini akan menjadi sepotong besar harapan, yang mungkin saja bisa mengubah semua cerita.

Aku terus berhayal, tentang harapan kecil yang baru aku temukan. Tak pernah berhenti untuk berharap, berharap sesuatu yang sangat tidak pasti.

Aku tahu, harapan yang aku temukan hanyalah sebuah harapan kosong. Kita bukan lagi menjadi kita, sekarang hanya tersisa Aku, Kamu, dan Dia. Seseorang yang sudah berhasil meluluhkan hatimu, dan tentunya lebih baik dari aku, lebih baik dari cerita yang dulu pernah aku buat, kita ciptakan.

Apapun yang terjadi, aku akan merelakannya. Aku tahu, semua ada masanya, dan setiap masa ada batas waktunya. Dan aku sadar, ini semua adalah hayalan tingkat tinggiku untuk terus bisa bersama dirimu, dan mencoba menulis cerita ini dari awal. Kenyataannya, aku masih tidak sanggup untuk bisa berubah lebih baik dimatamu, dan kamu telah memilih orang lain untuk menggantikan posisiku, peranku didalam cerita itu.

img src: sephardimhope.com

Kini aku hanyalah seorang pemeran yang gagal memerankan perannya didalam sebuah cerita. Dan kini aku telah sadar, dan bisa menjawab satu pertanyaan yang selama ini menghantui malamku.

"Apa aku memang pantas untuk dipertahankan seseorang seperti kamu?"

Dan jawaban dari pertanyaanku selama ini adalah....

"Tidak, aku terlalu takut untuk menghadapi kenyataan. Dan aku terlalu takut untuk melanjutkan cerita itu ke lembar berikutnya, hingga mencapai lembar paling akhir didalam sebuah cerita yang pernah aku buat. Karena aku takut, akan ada kesedihan dilembar berikutnya."

A Piece of Hope
-Gipsy Marpaung
Read More »