Celotehan Sok Bijak

MERASA BENAR

Sabtu, Juli 18, 2020



Belakangan ini, Saya mencoba sok mengamati linimasa Twitter yang semakin hari kian membara. Cuitan demi cuitan diutarakan antara akun A, akun B, hingga akun Z. Memuji, memaki, beradu argumen, berdebat, hingga menghina sekarang bisa Saya tonton dibalik layar smartphone sambil makan makaroni pedas harga seribuan hasil beli dari warung depan gang.
Berbekal dari pengamatan subjektif yang Saya lakukan jika sedang tidak ada kerjaan karena sudah selesai menonton episode demi episode drama korea, Saya bisa menarik kesimpulan bahwa MERASA BENAR adalah hal yang lumrah. Sudah menjadi bagian dari ego masing-masing manusia yang belakangan ini bertumbuh dengan pesat.

Satu kelompok selalu merasa bahwa kenakalan dimasa muda itu hal yang wajar. Keren. Secara eksplisit menyangkal menggunakan kalimat "gpp waktu muda nakal, biar nanti pas tua ga nakal lagi".

Sebagian lain menolak hal tersebut, memilih untuk tetap hidup sesuai norma.

Dua kelompok yang terbagi atas pro dan kontra ini membuat lini masa menjadi sangat panas. Beberapa orang kelihatan tidak terlalu mencolok saat beradu argumen, tapi ada juga yang memiliki pola pikir "I don't give a fuck" lalu memilih jalan dengan cara berkomentar pedas.

Contoh lain:

Satu kelompok selalu merasa bahwa seseorang bebas memakai apapun model pakaian yang mereka inginkan.

Sebagian lagi menolak, mengatakan bahwa cara berpakaian itu harus dilandasi oleh norma.

Pro kontra ini juga membuat lini masa Twitter menjadi panas.

Perlu digaris bawahi, Saya tidak akan ikut campur dan menjadi salah satu bagian dari mereka. Untuk saat ini, Saya hanya bisa berdebat mengenai; Kenapa harga rokok di warung depan menjadi mahal setiap bulannya? Atau yang paling berat adalah mengenai apakah MSG itu benar-benar membuat orang yang mengkonsumsinya menjadi bodoh atau semata-mata hanya konspirasi pada perang dagang yang sudah dilakukan sejak dulu.

Tapi jika Saya diperbolehkan mengungkapkan pendapat pribadi, maka inilah yang akan Saya katakan.

Saya selalu tidak setuju dengan dua kubu yang berdebat ini.

Anggapan Saya selama ini adalah, perdebatan yang mereka lakukan mengenai dua hal diatas hanya didasari oleh kemampuan dan ketidakmampuan. Disatu sisi orang-orang yang mampu melakukan hal tersebut akan selalu mengajak orang lain untuk harus mampu juga melakukan apa yang sudah dia lakukan, di sisi lain orang-orang yang tidak mampu juga akan selalu mengajak orang lain untuk tidak mampu.

Perdebatan ini hanya didasari atas perilaku pribadi yang merasa dirinya benar. Seperti yang Saya singgung diatas, ego untuk merasa benar sudah tertanam di diri masing-masing manusia.

Perdebatan antara dua kubu ini hanya bertujuan untuk mengajak orang-orang lain agar setuju dengan perasaan benar mereka. Bagi Saya, dua kubu ini hanya mencari pendukung untuk membenarkan apa yang mereka anggap benar. Tidak lebih dari itu.

Antara mampu dan tidak mampu
Bisa dan tidak bisa

Mereka yang mampu akan mengajak orang lain untuk mampu
Dan mereka yang tidak mampu akan mengajak orang lain untuk tidak mampu

Analoginya:

Dua anak berdebat mengenai layang-layang. Anak pertama yang mampu membuat layang-layang sendiri akan mengatakan bahwa membuat layangan sendiri itu memuaskan, bisa berkreasi sebebas mungkin tanpa ada batasan bentuk pada layang-layang. Lalu anak kedua yang tidak mampu membuat layang-layang akan mengatakan bahwa membuat layangan sendiri itu ribet, sudah ada yang jual, tidak perlu susah-susah membuat, toh hasilnya sama saja.

Perkara layang-layang ini menjadi perdebatan sengit antara kedua anak ini. Karena saling merasa benar, kedua anak ini mencari pembelaan oleh orang-orang sekitar untuk mendukung apa yang mereka percayai.

Padahal, tujuan akhir dari persimpangan kedua jalan yang ditempuh anak ini sama. Yaitu hanya untuk bisa bermain layang-layang.

Sesimple itu.

Saya tidak keberatan dengan apapun yang dianggap mereka benar.
Saya hanya tidak suka, ketika orang-orang yang merasa benar mulai mengajak.
Read More »