THIS IS A WHOLE NEW LEVEL OF LONELY

Rabu, Maret 25, 2020

Meskipun kehidupan menawarkan satu juta bahkan satu milyar pesona keindahan, entah kenapa kesepian selalu hinggap pada beberapa manusia. Entahlah, pun mungkin terjadi juga pada hewan jika kita dapat mengerti ucapannya.

Saya yakin, semua orang pernah merasakan kesepian, dengan tingkatan yang berbeda-beda.

Beberapa orang menganggap bahwa tinggal sendirian diperantauan merupakan tingkat kesepian paling tinggi. Jauh dari keluarga, dan orang terdekat.

Sebagian lagi, menganggap biasa.

Beberapa orang menganggap bahwa pergi ke bioskop sendirian merupakan tingkat kesepian paling tinggi.

Sebagian lagi, menganggap biasa.

Beberapa orang menganggap bahwa ditinggal keluarga pergi berlibur merupakan tingkat kesepian paling tinggi.

Sebagian lagi, menganggap biasa.

Lalu, apa yang membuatmu begitu kesepian?

......

Mungkin, beberapa bulan ini adalah waktu terberat dihidup Saya, hingga Saya merasa begitu kesepian. Dan mungkin, ini adalah tingkatan rasa sepi tertinggi yang Saya rasakan. Entahlah, setiap malam sebelum tertidur Saya selalu berkontemplasi mengenai kehidupan yang sedang Saya jalani. Lalu hanya bisa merenung, berpikir panjang, dan terpendam jauh kedalam lubuk hati. Hingga akhirnya meledak begitu saja.

Kesepian yang akhirnya membuat Saya sadar, bahwa tidak ada satupun manusia dimuka bumi ini (kecuali keluarga) yang peduli terhadap masalah yang sedang menimpa kita. Bahkan orang-orang yang sudah kamu anggap sebagai teman, sahabat, bahkan yang sudah kau labeli dengan kata “keluarga”. It such a bullshit.

Let me tell you a story about being lonely..

06 Februari 2020.

Hari ini, Ibu Saya dioperasi karena 2 hari sebelumnya dinyatakan oleh Dokter bahwa Ibu saya memiliki tumor di bagian usus besarnya. Bukan hanya itu, ternyata di ginjal sebelah kirinya juga terdapat batu sebesar 4cm.

Kaget? Jelas. Saya sekeluarga sangat terpukul. Tidak ada keluhan dari Ibu Saya sebelumnya. Hanya sakit perut berkepanjangan selama satu minggu sebelum masuk Rumah Sakit. Setelah melalui beberapa pembicaraan keluarga, tepat pada tanggal tersebut Dokter melakukan operasi untuk mengangkat tumor yang ada didalam usus besar Ibu Saya.

Ditengah-tengah operasi, seorang perawat keluar untuk memanggil salah seorang dari kami masuk kedalam ruang operasi. Setelah ditelisik, Dokter mengatakan harus melakukan tindakan pengangkatan salah satu ginjal Ibu Saya dengan alasan ginjal tersebut sudah menempel keras pada usus yang terkena tumor.

Hati Saya remuk. Terlebih Bapak yang sedari tadi duduk diam diluar ruangan operasi. Saya tahu, rasa sayang beliau sangat besar kepada Ibu Saya. Bapak hanya bisa menangis, sedang Saya tidak boleh terlihat menangis didepan beliau, pun kakak Saya juga harus terlihat kuat.

Perdebatan singkat memenangkan keputusan untuk pengangkatan ginjal. Entah kebetulan atau bagaimana, ternyata ginjal yang harus diangkat adalah ginjal yang memiliki batu sebesar 4cm didalamnya.

Selama lebih 6 jam Ibu Saya di ruang operasi, jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Akhirnya Dokter mengatakan bahwa operasi berjalan lancar, pun begitu pula kondisi Ibu Saya. Meskipun Ibu Saya harus dimasukkan ke ruangan ICU dengan alasan harus dirawat secara ekstra karena dosis obat bius yang diberikan Dokter Anestesi terlalu banyak, mengingat lamanya waktu operasi yang dibutuhkan.

Tak berselang lama, dari dalam ruangan ICU terdengar suara teriakan yang berasal dari Ibu Saya. Saya semakin hancur, meskipun dokter menjelaskan bahwa itu terjadi karena obat bius sudah mulai hilang. Saya masih ingat, dan Saya bisa merasakan rasa sakit itu.

Saya berjalan menuju pelataran rumah sakit, duduk diam. Tanpa sadar mata Saya sudah tergenang dengan air yang tidak mungkin mampu Saya tahan lagi. Saya menangis sejadinya, berharap Ibu Saya sembuh dan bisa melalui itu semua.

Waktu serasa melambat. Malam itu, Saya tidur dengan perasaan sedih yang teramat sangat.

07 Februari 2020.

Hari ini Ibu Saya sudah diperbolehkan masuk ke ruangan inap biasa. Dokter mengatakan bahwa kondisi Ibu Saya sangat baik, bahkan melebihi pasien lain yang juga melakukan operasi yang sama. Saya tahu, bahwa semangat Ibu Saya untuk sembuh sangat besar. Saya tahu, dan Saya percaya akan hal itu.

Entahlah, Saya tidak bisa mendeskripsikan semuanya. Mengingat bahwa ketika 3 hari paska operasi Ibu Saya masih diharuskan untuk puasa, meskipun dokter memberi kelonggaran untuk memberikan Ibu Saya minum barang 1-2 sendok agar tidak dehidrasi. Saya tidak kuat mengingat itu.

....

Puji Tuhan, kondisi Ibu Saya setiap hari kian membaik. Senyum Bapak Saya mulai timbul, dan Bapak sudah bisa mengguraui Ibu sekedar untuk memberi semangat. Meskipun setiap berbicara ke orang lain, Bapak selalu terlihat sedang menahan tangis.

Long story short

12 hari paska operasi, keadaan Ibu Saya sudah semakin membaik bahkan Ibu Saya sudah belajar untuk berjalan meskipun hanya sekedar mengelilingi ruangan. Dokter pun berkata bahwa Ibu Saya sudah diperbolehkan pulang, dengan catatan harus datang untuk konsultasi 3 hari kemudian.

Hampir 3 minggu Ibu Saya dirawat di Rumah Sakit, dan selama itu pula Saya berharap 1 saja orang yang selama ini Saya anggap teman, sahabat, atau keluarga datang menjenguk hanya untuk sekedar menemani Saya bercerita. Nyatanya, mungkin saja harapan Saya terlalu tinggi. Menanyakan kabar saja tidak, apalagi berharap mereka datang.

Mungkin hampir setiap malam Saya menangis, memikirkan apa kesalahan yang sudah Saya lakukan kepada orang lain, sehingga mereka tega tidak memperdulikan Saya barang beberapa jam. Entahlah, Saya rasa Saya sudah baik ke semua orang. Saya selalu memberikan effort lebih untuk orang lain, untuk mereka yang sudah Saya anggap teman, sahabat bahkan sampai Saya labeli mereka dengan kata “keluarga”.

Padahal satu minggu sebelum semua ini terjadi, semua teman dan sahabat Saya berkumpul selama satu minggu penuh untuk menyemangati salah satu teman Saya yang sedang berduka karena kehilangan salah satu orang tuanya. Dan Saya juga menjadi bagian dari perkumpulan itu.

Saya salah berharap? Toh Saya tidak meminta mereka untuk memberikan Saya uang, bantuan berbentuk materi atau apapun itu. Saya hanya meminta mereka untuk datang, Saya hanya ingin sekedar bercerita. Apa kesedihan Saya tidak bisa dibagikan untuk orang lain? Bagaimana dengan kesedihan mereka?

Kesepian memang tidak sampai membunuh Saya. Tetapi kesepian sudah berhasil membuat semangat Saya benar-benar hilang. Dan mereka menjadi bagian dari kesepian tersebut.

Berangkat darisana, kesepian sudah bukan lagi menjadi momok menakutkan untuk Saya. Saya sudah berdamai dengan sepi, berhasil atau tidaknya akan Saya usahakan.

Kau boleh berharap pada manusia lain, dengan catatan orang itu tau diri untuk membalas harapanmu.
Kau boleh berharap pada manusia lain, dengan catatan harapan itu kau sematkan pada manusia normal, bukan manusia tolol yang tidak tahu terimakasih.

Jika kau jawab dengan “satu kesalahan tidak bisa membuat orang itu menjadi jahat”, Saya akan jawab dengan “munafik”. Satu kesalahan fatal dapat merubah sudut pandang Saya terhadap manusia tersebut selamanya. Dan apa yang sudah Saya tanam didalam otak, tidak akan bisa di program ulang.

Lalu, apa yang kamu pikirkan sekarang?

Tak apa jika kau menganggap Saya berlebihan. Saya sudah tidak terlalu peduli dengan apa kata orang, dan... Saya juga sudah berjanji untuk tidak memberikan effort berlebihan kepada orang lain. Siapapun itu.

Yang sekarang  harus Saya lakukan adalah menjaga dan merawat Ibu Saya hingga sembuh, agar beliau bisa beraktivitas seperti biasa. Tidak mengharapkan bantuan dari teman, sahabat atau siapapun itu selama Saya dan keluarga masih bisa melakukannya sendiri.

Manusia sosial itu,
tidak lebih dari seorang penjilat.

Kau akan dipandang jika kau punya jabatan
Kau akan disegani jika kau punya kekuasaan
Kau akan dihormati jika kau punya wewenang
Kau akan didekati jika kau memiliki sesuatu yang dibutuhkan mereka

Dan,
Kau  akan dijauhi jika tak punya apa-apa.


-Gipsy
25 Maret 2020.

Read More »